Selasa, 01 Mei 2012

sakit hati


Sebenarnya aku dilahirkan menjadi anak yang beruntung. Papa punya
kedudukan di kantor dan Mama seorang juru rias / ahli kecantikan
terkenal. Sering jadi pembicara dimana-mana bahkan sering menjadi perias
pengantin orang-orang beken di kotaku. Sayangnga mereka semua
orang-orang sibuk. Kakakku, Kak Luna, usianya terpaut jauh diatasku 5
tahun. Hanya dialah tempatku sering mengadu. Semenjak dia punya pacar,
rasanya semakin jarang aku dan kakakku saling berbagi cerita.



Saat
itu aku masih SMP kelas 2, Kak Luna sudah di SMA kelas 2. Banyak
teman-temanku maupun teman kakakku naksir kepadaku. Kata mereka sih aku
cantik. Walaupun aku merasa biasa-biasa saja (Tapi dalam hati bangga
lho.., he.., he..) Aku punya body bongsor dengan kulit putih bersih.
Rambut hitam lurus, mata bulat dan bibir seksi (katanya sich he..,
he..). Saat itu aku merasa bahwa payudaraku lebih besar dibandingkan
teman-temanku, kadang-kadang suka malu saat olah raga, nampak payudaraku
bergoyang-goyang. Padahal sebenarnya hanya berukuran 34B saja. Salah
seorang teman kakakku, Kak Agun namanya, sering sekali main ke rumah.
Bahkan kadang-kadang ikutan tidur siang segala. Cuma seringnya tidur di
ruang baca, karena sofa di situ besar dan empuk. Ruangannya ber AC, full
music. Kak Agun bahkan dianggap seperti saudara sendiri. Mama dan orang
tuanya sudah kenal cukup lama.



Saat itu hari Minggu,
Mama, Papa, dan Kak Luna pergi ke luar kota. Mak Yam pembantuku pulang
kampung, Pak Rebo tukang kebun sedang ke tempat saudaranya. Praktis aku
sendirian di rumah. Aku sebenarnya diajak Mama tapi aku menolak karena
PR bahasa Inggrisku menumpuk.



Tiba-tiba aku mendengar
bunyi derit rem. Aku melihat Kak Agun berdiri sambil menyandarkan sepeda
sportnya ke garasi. Tubuhnya yang dibalut kaos ketat nampak basah
keringat.

“Barusan olah raga…, muter-muter, terus mampir…, Mana
Kak Luna?”, tanyanya. Aku lalu cerita bahwa semua orang rumah pergi
keluar kota. Aku dan Kak Agun ngobrol di ruang baca sambil nonton TV.
Hanya kadang-kadang dia suka iseng, menggodaku. Tangannya seringkali
menggelitik pinggangku sehingga aku kegelian.

Aku protes,
“Datang-datang…, bikin repot. Mending bantuin aku ngerjain PR”. Eh…, Kak
Agun ternyata nggak nolak, dengan seriusnya dia mengajariku, satu
persatu aku selesaikan PR-ku.

“Yess! Rampung!”, aku menjerit
kegirangan. Aku melompat dan memeluk Kak Agun, “Ma kasih Kak Agun”.
Nampaknya Kak Agun kaget juga, dia bahkan nyaris terjatuh di sofa.

“Nah…, karena kamu sudah menyelesaikan PR-mu, aku kasih hadiah” kata Kak Agun.

“Apa itu? Coklat?”, kataku.

“Bukan, tapi tutup mata dulu”, kata dia. Aku agak heran tapi mungkin akan surprise terpaksa aku menutup mata.



Tiba-tiba aku merasa kaget, karena bibirku rasanya seperti dilumat dan tubuhku terasa dipeluk erat-erat.

“Ugh…, ugh…”, kataku sambil berusaha menekan balik tubuh Kak Agun.

“Alit…, nggak apa-apa, hadiah ini karena Kak Agun sayang Alit”.

Rasanya
aku tiba-tiba lemas sekali, belum sempat menjawab bibirku dilumat lagi.
Kini aku diam saja, aku berusaha rileks, dan lama-lama aku mulai
menikmatinya. Ciuman Kak Agun begitu lincah di bibirku membuat aku
merasa terayun-ayun. Tangannya mulai memainkan rambutku, diusap lembut
dan menggelitik kupingku. Aku jadi geli, tapi yang jelas saat itu aku
merasa beda. Rasanya hati ini ada yang lain. Kembali Kak Agun mencium
pipiku, kedua mataku, keningku dan berputar-putar di sekujur wajahku.
Aku hanya bisa diam dan menikmati. Rasanya saat itu aku sudah mulai
lain. Napasku satu persatu mulai memburu seiring detak jantungku yang
terpacu. Kemudian aku diangkat dan aku sempat kaget!

“Kak Agun…,
kuat juga”. Dia hanya tersenyum dan membopongku ke kamarku.
Direbahkannya aku di atas ranjang dan Kak Agun mulai lagi menciumku.
Saat itu perasaanku tidak karuan antara kepingin dan takut. Antara malu
dan ragu. Ciuman Kak Agun terus menjalar hingga leherku. Tangannya mulai
memainkan payudaraku. “Jangan…, jangan…, acch…, acch…”, aku berusaha
menolak namun tak kuasa. Tangannya mulai menyingkap menembus ke kaos
Snoopy yang kupakai. Jari-jemarinya menari-nari di atas perut, dan
meluncur ke BH. Terampil jemarinya menerobos sela-sela BH dan
menggelitik putingku. Saat itu aku benar-benar panas dingin, napasku
memburu, suaraku rasanya hanya bisa berucap dan mendesis-desis “ss…,
ss…”,. Tarian jemarinya membuatku terasa limbung, ketika dia memaksaku
melepas baju, aku pun tak kuasa. Nyaris tubuhku kini tanpa busana. Hanya
CD saja yang masih terpasang rapi. Kak Agun kembali beraksi, ciumannya
semakin liar, dan jemarinya, telapak tangannya mengguncang-guncang
payudaraku, aku benar-benar sudah hanyut. Aku mendesis-desis merasakan
sesuatu yang nikmat. Aku mulai berani menjepit badannya dengan kakiku.
Namun malahan membuatnya semakin liar. Tangan Kak Agun menelusup ke
CD-ku.

Aku menjerit, “Jangan…, jangan…”, aku berusaha menarik
diri. Tapi Kak Agun lebih kuat. Gesekan tangannya mengoyak-koyak helaian
rambut kemaluanku yang tidak terlalu lebat. Dan tiba aku merasa nyaris
terguncang, ketika dia menyentuh sesesuatu di “milikku”. Aku
menggelinjang dan menahan napas, “Kak Agun…, ohh.., oh…”, aku
benar-benar dibuatnya berputar-putar. Jemarinya memainkkan clit-ku.
Diusap-usap, digesek-gesek dan akhirnya aku ditelanjangi. Aku hanya bisa
pasrah saja. Tapi aku kaget ketika tiba-tiba dia berdiri dan penisnya
telah berdiri tegang. Aku ngeri, dan takut. Permainan pun dilanjutkan
lagi, saat itu aku benar-benar sudah tidak kuasa lagi, aku pasrah saja,
aku benar-benar tidak membalas namun aku menikmatinya. Aku memang belum
pernah merasakannya walau sebenarnya takut dan malu.



Tiba-tiba aku kaget ketika ada “sesuatu” yang mengganjal menusuk-nusuk milikku, “Uch…, uch…”, aku menjerit.

“Kak Agun, Jangan…, ach…, ch…, ss…, jangan”.

Ketika dia membuka lebar-lebar kakiku dia memaksakan miliknya dimasukkan. “Auuchh…”, aku menjerit.

“Achh!”,
Terasa dunia ini berputar saking sakitnya. Aku benar-benar sakit, dan
aku bisa merasakan ada sesuatu di dalam. Sesaat diam dan ketika mulai
dinaik-turunkan aku menjerit lagi, “Auchh…, auchh…”. Walaupun rasanya
(katanya) nikmat saat itu aku merasa sakit sekali. Kak Agun secara
perlahan menarik “miliknya” keluar. Kemudian dia mengocok dan
memuntahkan cairan putih.



Saat itu aku hanya terdiam dan
termangu, setelah menikmati cumbuan aku merasakan sakit yang luar biasa.
Betapa kagetnya aku ketika aku melihat sprei terbercak darah. Aku
meringis dan menangis sesenggukan. Saat itu Kak Agun memelukku dan
menghiburku, “Sudahlah Alit jangan menangis, hadiah ini akan menjadi
kenang-kenangan buat kamu. Sebenarnya aku sayang sama kamu”.



Saat
itu aku memang masih polos, masih SMP, namun pengetahuan seksku masih
minim. Aku menikmati saja tapi ketika melihat darah kegadisanku di atas
sprei, aku jadi bingung, takut, malu dan sedih. Aku sebenarnya sayang
sama Kak Agun tapi…, (Ternyata akhirnya dia kawin dengan cewek lain
karena “kecelakaan”). Sejak itu aku jadi benci…, benci…, bencii…, sama
diaSebenarnya aku dilahirkan menjadi anak yang beruntung. Papa punya
kedudukan di kantor dan Mama seorang juru rias / ahli kecantikan
terkenal. Sering jadi pembicara dimana-mana bahkan sering menjadi perias
pengantin orang-orang beken di kotaku. Sayangnga mereka semua
orang-orang sibuk. Kakakku, Kak Luna, usianya terpaut jauh diatasku 5
tahun. Hanya dialah tempatku sering mengadu. Semenjak dia punya pacar,
rasanya semakin jarang aku dan kakakku saling berbagi cerita.



Saat
itu aku masih SMP kelas 2, Kak Luna sudah di SMA kelas 2. Banyak
teman-temanku maupun teman kakakku naksir kepadaku. Kata mereka sih aku
cantik. Walaupun aku merasa biasa-biasa saja (Tapi dalam hati bangga
lho.., he.., he..) Aku punya body bongsor dengan kulit putih bersih.
Rambut hitam lurus, mata bulat dan bibir seksi (katanya sich he..,
he..). Saat itu aku merasa bahwa payudaraku lebih besar dibandingkan
teman-temanku, kadang-kadang suka malu saat olah raga, nampak payudaraku
bergoyang-goyang. Padahal sebenarnya hanya berukuran 34B saja. Salah
seorang teman kakakku, Kak Agun namanya, sering sekali main ke rumah.
Bahkan kadang-kadang ikutan tidur siang segala. Cuma seringnya tidur di
ruang baca, karena sofa di situ besar dan empuk. Ruangannya ber AC, full
music. Kak Agun bahkan dianggap seperti saudara sendiri. Mama dan orang
tuanya sudah kenal cukup lama.



Saat itu hari Minggu,
Mama, Papa, dan Kak Luna pergi ke luar kota. Mak Yam pembantuku pulang
kampung, Pak Rebo tukang kebun sedang ke tempat saudaranya. Praktis aku
sendirian di rumah. Aku sebenarnya diajak Mama tapi aku menolak karena
PR bahasa Inggrisku menumpuk.



Tiba-tiba aku mendengar
bunyi derit rem. Aku melihat Kak Agun berdiri sambil menyandarkan sepeda
sportnya ke garasi. Tubuhnya yang dibalut kaos ketat nampak basah
keringat.

“Barusan olah raga…, muter-muter, terus mampir…, Mana
Kak Luna?”, tanyanya. Aku lalu cerita bahwa semua orang rumah pergi
keluar kota. Aku dan Kak Agun ngobrol di ruang baca sambil nonton TV.
Hanya kadang-kadang dia suka iseng, menggodaku. Tangannya seringkali
menggelitik pinggangku sehingga aku kegelian.

Aku protes,
“Datang-datang…, bikin repot. Mending bantuin aku ngerjain PR”. Eh…, Kak
Agun ternyata nggak nolak, dengan seriusnya dia mengajariku, satu
persatu aku selesaikan PR-ku.

“Yess! Rampung!”, aku menjerit
kegirangan. Aku melompat dan memeluk Kak Agun, “Ma kasih Kak Agun”.
Nampaknya Kak Agun kaget juga, dia bahkan nyaris terjatuh di sofa.

“Nah…, karena kamu sudah menyelesaikan PR-mu, aku kasih hadiah” kata Kak Agun.

“Apa itu? Coklat?”, kataku.

“Bukan, tapi tutup mata dulu”, kata dia. Aku agak heran tapi mungkin akan surprise terpaksa aku menutup mata.



Tiba-tiba aku merasa kaget, karena bibirku rasanya seperti dilumat dan tubuhku terasa dipeluk erat-erat.

“Ugh…, ugh…”, kataku sambil berusaha menekan balik tubuh Kak Agun.

“Alit…, nggak apa-apa, hadiah ini karena Kak Agun sayang Alit”.

Rasanya
aku tiba-tiba lemas sekali, belum sempat menjawab bibirku dilumat lagi.
Kini aku diam saja, aku berusaha rileks, dan lama-lama aku mulai
menikmatinya. Ciuman Kak Agun begitu lincah di bibirku membuat aku
merasa terayun-ayun. Tangannya mulai memainkan rambutku, diusap lembut
dan menggelitik kupingku. Aku jadi geli, tapi yang jelas saat itu aku
merasa beda. Rasanya hati ini ada yang lain. Kembali Kak Agun mencium
pipiku, kedua mataku, keningku dan berputar-putar di sekujur wajahku.
Aku hanya bisa diam dan menikmati. Rasanya saat itu aku sudah mulai
lain. Napasku satu persatu mulai memburu seiring detak jantungku yang
terpacu. Kemudian aku diangkat dan aku sempat kaget!

“Kak Agun…,
kuat juga”. Dia hanya tersenyum dan membopongku ke kamarku.
Direbahkannya aku di atas ranjang dan Kak Agun mulai lagi menciumku.
Saat itu perasaanku tidak karuan antara kepingin dan takut. Antara malu
dan ragu. Ciuman Kak Agun terus menjalar hingga leherku. Tangannya mulai
memainkan payudaraku. “Jangan…, jangan…, acch…, acch…”, aku berusaha
menolak namun tak kuasa. Tangannya mulai menyingkap menembus ke kaos
Snoopy yang kupakai. Jari-jemarinya menari-nari di atas perut, dan
meluncur ke BH. Terampil jemarinya menerobos sela-sela BH dan
menggelitik putingku. Saat itu aku benar-benar panas dingin, napasku
memburu, suaraku rasanya hanya bisa berucap dan mendesis-desis “ss…,
ss…”,. Tarian jemarinya membuatku terasa limbung, ketika dia memaksaku
melepas baju, aku pun tak kuasa. Nyaris tubuhku kini tanpa busana. Hanya
CD saja yang masih terpasang rapi. Kak Agun kembali beraksi, ciumannya
semakin liar, dan jemarinya, telapak tangannya mengguncang-guncang
payudaraku, aku benar-benar sudah hanyut. Aku mendesis-desis merasakan
sesuatu yang nikmat. Aku mulai berani menjepit badannya dengan kakiku.
Namun malahan membuatnya semakin liar. Tangan Kak Agun menelusup ke
CD-ku.

Aku menjerit, “Jangan…, jangan…”, aku berusaha menarik
diri. Tapi Kak Agun lebih kuat. Gesekan tangannya mengoyak-koyak helaian
rambut kemaluanku yang tidak terlalu lebat. Dan tiba aku merasa nyaris
terguncang, ketika dia menyentuh sesesuatu di “milikku”. Aku
menggelinjang dan menahan napas, “Kak Agun…, ohh.., oh…”, aku
benar-benar dibuatnya berputar-putar. Jemarinya memainkkan clit-ku.
Diusap-usap, digesek-gesek dan akhirnya aku ditelanjangi. Aku hanya bisa
pasrah saja. Tapi aku kaget ketika tiba-tiba dia berdiri dan penisnya
telah berdiri tegang. Aku ngeri, dan takut. Permainan pun dilanjutkan
lagi, saat itu aku benar-benar sudah tidak kuasa lagi, aku pasrah saja,
aku benar-benar tidak membalas namun aku menikmatinya. Aku memang belum
pernah merasakannya walau sebenarnya takut dan malu.



Tiba-tiba aku kaget ketika ada “sesuatu” yang mengganjal menusuk-nusuk milikku, “Uch…, uch…”, aku menjerit.

“Kak Agun, Jangan…, ach…, ch…, ss…, jangan”.

Ketika dia membuka lebar-lebar kakiku dia memaksakan miliknya dimasukkan. “Auuchh…”, aku menjerit.

“Achh!”,
Terasa dunia ini berputar saking sakitnya. Aku benar-benar sakit, dan
aku bisa merasakan ada sesuatu di dalam. Sesaat diam dan ketika mulai
dinaik-turunkan aku menjerit lagi, “Auchh…, auchh…”. Walaupun rasanya
(katanya) nikmat saat itu aku merasa sakit sekali. Kak Agun secara
perlahan menarik “miliknya” keluar. Kemudian dia mengocok dan
memuntahkan cairan putih.



Saat itu aku hanya terdiam dan
termangu, setelah menikmati cumbuan aku merasakan sakit yang luar biasa.
Betapa kagetnya aku ketika aku melihat sprei terbercak darah. Aku
meringis dan menangis sesenggukan. Saat itu Kak Agun memelukku dan
menghiburku, “Sudahlah Alit jangan menangis, hadiah ini akan menjadi
kenang-kenangan buat kamu. Sebenarnya aku sayang sama kamu”.



Saat
itu aku memang masih polos, masih SMP, namun pengetahuan seksku masih
minim. Aku menikmati saja tapi ketika melihat darah kegadisanku di atas
sprei, aku jadi bingung, takut, malu dan sedih. Aku sebenarnya sayang
sama Kak Agun tapi…, (Ternyata akhirnya dia kawin dengan cewek lain
karena “kecelakaan”). Sejak itu aku jadi benci…, benci…, bencii…, sama
dia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar