Kamis, 19 April 2012

ABG Montok Tank Top Putih

Klik gambar untuk memperbesar..




Klik gambar untuk memperbesar..


Klik gambar untuk memperbesar..


Klik gambar untuk memperbesar..


Klik gambar untuk memperbesar..


Klik gambar untuk memperbesar..


Klik gambar untuk memperbesar..


Klik gambar untuk memperbesar..

Rabu, 18 April 2012

Tubuh padat abg dibalut tank top

Klik gambar untuk memperbesar..




Klik gambar untuk memperbesar..


Klik gambar untuk memperbesar..


Klik gambar untuk memperbesar..


Klik gambar untuk memperbesar..

Selasa, 17 April 2012

SMA Bispak siap pakai

Klik gambar untuk memperbesar..


Lihat tubuh polosnya


Klik gambar untuk memperbesar..


Klik gambar untuk memperbesar..


Klik gambar untuk memperbesar..


Klik gambar untuk memperbesar..

Pengalamanku mencicipi Vagina Fanny yang basah dan bikin ketagihan








 
Fanny Damayanti, adalah seorang gadis dengan wajah cantik, alis
matanya melengkung, dan mata indah serta jernih, dilindungi oleh bulu
mata lentik, hidung mancung serasi melengkapi kecantikannya, ditambah
dengan bibir mungil merah alami yang serasi pula dengan wajahnya.


Rambutnya yang hitam dan dipotong pendek menjadikannya lebih menarik,
kulitnya putih mulus dan terawat, badannya mulai tumbuh begitu indah dan
seksi. Dia tumbuh di kalangan keluarga yang cukup berada dan
menyayanginya. Usianya baru 15 tahun, kadang sifatnya masih kekanakan.
Badannya tidak terlalu tinggi berkisar 155 cm, badannya ideal dengan
tinggi badannya, tidak terlalu gemuk atau terlalu kurus.


Seminggu yang lalu Fanny mulai rutin mengikuti les privat Fisika di
rumahku, Renne Lobo, aku seorang duda. Aku mempunyai sebuah rumah mungil
dengan dua buah kamar, diantaranya ada sebuah kamar mandi yang bersih
dan harum. Kamar depan diperuntukkan ruang kerja dan perpustakaan,
buku-buku tersusun rapi di dalam rak dengan warna-warna kayu, sama
seperti meja kerja yang di atasnya terletak seperangkat komputer.



Sebuah lukisan yang indah tergantung di dinding, lukisan itu semakin
tampak indah di latar belakangi oleh warna dinding yang serasi. Ruang
tidurnya dihiasi ornamen yang serasi pula, dengan tempat tidur besar dan
pencahayaan lampu yang membuat suasana semakin romantis. Ruang tamu
ditata sangat artistik sehingga terasa nyaman.


Rumahku memang terkesan romantis dengan terdengar pelan alunan lagu-lagu
cinta, Fanny sedang mengerjakan tugas yang baru kuperintahkan. Dia
terlalu asyik mengerjakan tugas itu, tanpa sengaja penghapusnya jatuh
tersenggol. Fanny berusaha menggapai ke bawah bermaksud untuk
mengambilnya, tapi ternyata dia memegang tanganku yang telah lebih dulu
mengambilnya. Fanny kaget melihat ke arahku yang sedang tersenyum
padanya. Fanny berusaha tersenyum, saat tangan kirinya kupegang dan
telapak tangannya kubalikkan dengan lembut, kemudian kutaruh penghapus
itu ke dalam telapak tangannya.


Aku sebagai orang yang telah cukup berpengalaman dapat merasakan
getaran-getaran perasaan yang tersalur melalui jari-jari gadis itu,
sambil tersenyum aku berkata, "Fan, kamu tampak lebih cantik kalau
tersenyum seperti itu". Kata-kataku membuat gadis itu merasa tersanjung,
dengan tidak sadar Fanny mencubit pahaku sambil tersenyum senang.


"Udah punya pacar Fan?", godaku sambil menatap Fanny.

"Belum, Kak!", jawabnya malu-malu, wajahnya yang cantik itu bersemu
merah. "Kenapa, kan temen seusiamu sudah mulai punya pacar", lanjutku.

"Habis mereka maunya cuma hura-hura kayak anak kecil, caper", komentarnya sambil melanjutkan menulis jawaban tugasnya.

"Ohh!", aku bergumam dan beranjak dari tempat duduknya, mengambil
minuman kaleng dari dalam kulkas. "Minum Coca Cola apa Fanta, Fan?",
lanjutku.


"Apa ya! Coca Cola aja deh Kak", sahutnya sambil terus bekerja.

Aku mambawa dua kaleng minuman dan mataku terus melihat dan menelusuri
tubuh Fanny yang membelakangi, ternyata menarik juga gadis ini, badannya
yang semampai dan bagus cukup membuatku bergairah, pikirku sambil
tersenyum sendiri.


"Sudah Kak", suara Fanny mengagetkan lamunanku, kuhampiri dan kusodorkan
sekaleng Coca-Cola kesukaan gadis itu. Kemudian aku memeriksa hasil
pekerjaan itu, ternyata benar semua.

"Ahh, ternyata selain cantik kamu juga pintar Fan ", pujiku dan membuat Fanny tampak tersipu dan hatinya berbunga-bunga.


Aku yang sengaja duduk di sebelah kanannya, melanjutkan menerangkan
pemecahan soal-soal lain, Bau wangi parfum yang kupakai sangat lembut
dan terasa nikmat tercium hidung, mungkin itu yang membuatnya tanpa
sadar bergeser semakin dekat padaku.


Pujian tadi membuatnya tidak dapat berkonsentrasi dan berusaha mencoba
mengerti apa yang sedang dijelaskan, tapi gagal. Aku yang melihatnya
tersenyum dalam hati dan sengaja duduk menyamping, agak menghadap pada
gadis itu sehingga instingku mengatakan hatinya agak tergetar.


"Kamu bisa ngerti yang baru kakak jelaskan Fan", kataku sambil melihat
wajah Fanny lewat sudut mata. Fanny tersentak dari lamunannya dan
menggeleng, "Belum, ulang dong Kak!", sahutnya. Kemudian aku mengambil
kertas baru dan diletakkan di depannya, tangan kananku mulai menuliskan
rumus-rumus sambil menerangkan, tangan lainnya diletakkan di sandaran
kursi tempatnya duduk dan sesekali aku sengaja mengusap punggungnya
dengan lembut.


Fanny semakin tidak bisa berkonsentrasi, saat merasakan usapan lembut
jari tanganku itu, jantungnya semakin berdegup dengan keras, usapan itu
kuusahakan senyaman dan selembut mungkin dan membuatnya semakin terlena
oleh perasaan yang tak terlukiskan. Dia sama sekali tidak bisa
berkonsentrasi lagi. Tanpa terasa matanya terpejam menikmati belaian
tangan dan bau parfum yang lembut.


Dia berusaha melirikku, tapi aku cuek saja, sebagai perempuan yang
selalu ingin diperhatikan, Fanny mulai mencoba menarik perhatianku. Dia
memberanikan diri meletakkan tangan di atas pahaku. Jantungnya semakin
berdegup, ada getaran yang menjalar lembut lewat tanganku.


Selesai menerangkan aku menatapnya dengan lembut, dia tak kuasa menahan
tatapan mata yang tajam itu, perasaannya menjadi tak karuan, tubuhnya
serasa menggigil saat melihat senyumku, tanpa sadar tangan kirinya
meremas lembut pahaku, akhirnya Fanny menutup mata karena tidak kuat
menahan gejolak didadanya. Aku tahu apa yang dirasakan gadis itu dengan
instingku.


"Kamu sakit?", tanyaku berbasa basi. Fanny menggelengkan kepala, tapi
tanganku tetap meraba dahinya dengan lembut, Fanny diam saja karena
tidak tahu apa yang harus dilakukan. Aku genggam lembut jari tangan
kirinya.


Udara hangat menerpa telinganya dari hidungku, "Kamu benar-benar gadis
yang cantik, dan telah tumbuh dewasa Fan", gumamku lirih. pujian itu
membuat dirinya makin bangga, tubuhnya bergetar, dan nafasnya sesak
menahan gejolak di dadanya. Dan Fanny ternyata tak kuasa untuk menahan
keinginannya meletakkan kepalanya di dadaku, "Ahh..", Fanny mendesah
kecil tanpa disadari.


Aku sadar gadis ini mulai menyukaiku, dan berhasil membangkitkan
perasaan romantisnya. Tanganku bergerak mengusap lembut telinga gadis
itu, kemudian turun ke leher, dan kembali lagi naik ke telinga beberapa
kali. Fanny merasa angan-angannya melambung, entah kenapa dia pasrah
saja saat aku mengangkat dagunya, mungkin terselip hatinya perasaan
ingin terus menikmati belaian-belaian lembut itu.


"Kamu memang sangat cantik dan aku yakin jalan pikiranmu sangat dewasa,
Aku kagum!", kataku merayu. Udara hangat terasa menerpa wajahya yang
cantik, disusul bibir hangatku menyentuh keningnya, lalu turun pelan ke
telinga, hangat dan lembut, perasaan nikmat seperti ini pasti belum
pernah dialaminya. Anehnya dia menjadi ketagihan, dan merasa tidak rela
untuk cepat-cepat mengakhiri semua kejadian itu.


"Ja.., jangan Kak", pintanya untuk menolak. Tapi dia tidak berusaha
untuk mengelak saat bibir hangatku dengan lembut penuh perasaan
menyusuri pipinya yang lembut, putih dan halus, saat merasakan hangatnya
bibirku mengulum bibirnya yang mungil merah merekah itu bergeter, aku
yakin baru pertama kali ini dia merasakan nikmatnya dikulum dan dicium
bibir laki-laki.


Jantung di dadanya berdegup makin keras, perasaan nikmat yang
menyelimuti hatinya semakin membuatnya melambung. "Uuhh..!", hatinya
tergelitik untuk mulai membalas ciuman dan kuluman-kuluman hangatku.


"Aaahh..", dia mendesah merasakan remasanku lembut di payudara kiri yang
menonjol di dadanya, seakan tak kuasa melarang. Dia diam saja, remasan
lembut menambah kenikmatan tersendiri baginya. "Dadamu sangat indah
Fan", sebuah pujian yang membuatnya semakin mabuk, bahkan tangannya kini
memegang tanganku, tidak untuk melarangnya, tapi ikut menekan dan
mengikuti irama remasan di tanganku. Dia benar-benar semakin
menikmatinya. Serdadukupun mulai menegang.


"Aaahh", Fanny mendesah kembali dan pahanya bergerak-gerak dan tubuhnya
bergetar menandakan vaginanya mulai basah oleh lendir yang keluar akibat
rangsangan yang dialaminya, hal itu membuat vaginanya terasa geli,
merupakan kenikmatan tersendiri. Dia semakin terlena diantara
degup-degup jantung dan keinginannya untuk mencapai puncak kenikmatan.
Diimbanginya kuluman bibir dan remasan lembut di atas buah dadanya.


Saat tanganku mulai membuka kancing baju seragamnya, tangannya mencoba
menahannya. "Jangan nanti dilihat orang", pintanya, tapi tidak
kupedulikan. Kulanjutkan membuka satu persatu, dadanya yang putih mulus
mulai terlihat, buah dadanya tertutup bra warna coklat.


Seakan dia sudah tidak peduli lagi dengan keadaannya, hanya kenikmatan
yang ingin dicapainya, dia pasrah saat kugendong dan merebahkannya di
atas tempat tidur yang bersprei putih. Di tempat tidur ini aku merasa
lebih nyaman, semakin bisa menikmati cumbuan, dibiarkannya dada yang
putih mulus itu makin terbuka.


"Auuuhh", bibirku mulai bergeser pelan mengusap dan mencium hangat di
lehernya yang putih mulus. "Aaaahh", dia makin mendesah dan merasakan
kegelian lain yang lebih nikmat.


Aku semakin senang dengan bau wangi di tubuhnya. "Tubuhmu wangi sekali",
kembali rayuan itu membuatnya makin besar kepala. Tanganku itu
dibiarkan menelusuri dadanya yang terbuka. Fanny sendiri tidak kuasa
menolak, seakan ada perasaan bangga tubuhnya dilihat dan kunikmati.
Tanganku kini menelusuri perutnya dengan lembut, membuatnya
menggelinjang kegelian. Bibir hangatku beralih menelusuri dadanya.


"Uhh.!", tanganku menarik bajunya ke atas hingga keluar dari rok
abu-abunya, kemudian jari-jarinya melepas kancing yang tersisa dan
menari lembut di atas perutnya. "Auuuhh" membuatnya menggelinjang
nikmat, perasaannya melambung mengikuti irama jari-jariku, sementara
serdaduku terasa makin tegang.


Dia mulai menarik kepalaku ke atas dan mulai mengimbagi ciuman dan
kuluman, seperti caraku mengulum dan mencium bibirnya. "Ooohh",
terdengar desah Fanny yang semakin terlena dengan ciuman hangat dan
tarian jari-jariku diatas perutnya, kini dada dan perutnya terlihat
putih, mulus dan halus hanya tertutup bra coklat muda yang lembut.


Aku semakin tegang hingga harus mengatur gejolak birahi dengan mengatur
pernafasanku, aku terus mempermainkan tubuh dan perasaan gadis itu,
kuperlakukan Fanny dengan halus, lembut, dan tidak terburu-buru, hal ini
membuat Fanny makin penasaran dan makin bernafsu, mungkin itu yang
membuat gadis itu pasrah saat tanganku menyusup ke belakang, dan membuka
kancing branya.


Tanganku mulai menyusup di bagian dada yang menonjol di bawah bra gadis itu, terasa kenyal dan padat di tanganku.

"Aaahh.. Uuuhh. ooohh", Fanny menggelinjang gelinjang geli dan nikmat,
jemari itu menari dan mengusap lembut di atas buah dadanya yang mulai
berkembang lembut dan putih, seraya terus berpagutan. Dia merasa semakin
nikmat, geli dan melambungkan angan-angannya.


Ujung jariku mulai mempermainkan puting susunya yang masih kecil dan
kemerahan itu dengan sangat hati-hati. "Kak.. Aaahh.. uuhh.. ahh". Fanny
mulai menunjukkan tanda-tanda terangsang hingga berusaha ikut membuka
kancing bajuku, agak susah, tapi dia berhasil. Tangannya menyusup
kebalik baju dan mengelus dadaku, sementara birahinya makin memuncak.
"Ngghh.. ", vaginanya yang basah semakin membuatnya nikmat, pikirku.
Fanny menurut ketika badannya diangkat sedikit, dibiarkannya baju dan
branya kutanggalkan, lalu dilempar ke samping tempat tidur.


Sekarang tubuh bagian atasnya tidak tertutup apapun, dia tampak tertegun
dan risih sejenak, saat mataku menelusuri lekuk tubuhnya. Di sisi lain
dia merasa kagum dengan dua gunung indah yang masih perawan yang
menyembul di atas dadanya, belum pernah terjamah oleh siapapun selain
dirinya sendiri. Sedangkan aku tertegun sejenak melihat pemandangan di
depan mataku, birahiku bergejolak kembali, aku berusaha mengatur
pernafasan, karena tidak ingin melepaskan nafsu binatangku hingga
menyakiti perasaan gadis cantik yang tergolek pasrah di depanku ini.


Aku mulai mengulum buah dada gadis itu perlahan, terasa membusung
lembut, putih dan kenyal. Diperlakukan seperti itu Fanny menggelinjang,
"Ahh.. uuuhh.. aaahh". Pengalaman pertamanya ini membuat angan-angannya
terbang tinggi. Buah dadanya yang putih, lembut, dan kenyal itu terasa
nikmat kuhisap lembut, tarian lidah diputing susunya yang kecil
kemerahan itu mulai berdiri dan mengeras.


"Aaahh..!", dia merintih geli dan makin mendekap kepalaku, vaginanya
mungkin kini terasa membanjir. Birahinya semakin memuncak. "Kak.. ahh,
terus Kak.. ahh.. Uhh", rintihnya makin panjang. Aku terus mempermainkan
buah dada gadis lugu itu dengan bibir dan lidahku, sambil membuka
kancing bajuku sendiri satu persatu, kemudian baju itu kutanggalkan,
terlihat dadaku yang bidang dan atletis.


Kembali ujung bibirnya kukulum, terasa geli dan nikmat. Saat Fanny akan
membalas memagutnya, telapak tangannya kupegang dan kubimbing naik ke
atas kepalanya. Aku mulai mencium dan menghisap lembut, dan menggigit
kecil tangan kanannya, mulai dari pangkal lengan, siku sampai ujung
jarinya diisap-isap. Membuatnya bertambah geli dan nikmat. "Geli.. ahh..
ohh!"

Perasaannya melambung kembali, ketika buah dadanya dikulum, dijilati dan
dihisap lembut. "Uuuhh.!", dia makin mendekapkan kepalaku, itu akan
membuat vaginanya geli, membuat birahinya semakin memuncak.

"Kak.. ahh, terus kak.. ahh.. ssst.. uhh", dia merintih rintih dan
menggelinjang, sesekali kakinya menekuk ke atas, hingga roknya
tersingkap.


Sambil terus mempermainkan buah dada gadis itu. aku melirik ke paha
mulus, indah terlihat di antara rok yang tersingkap. Darahku berdesir,
kupindahkan tanganku dan terus menari naik turun antara lutut dan
pangkal paha putih mulus, masih tertutup celana yang membasah, Aku
merasakan birahi Fanny semakin memuncak. Aku terus mempermainkan buah
dada gadis itu.

"Kak.. ahh, terus Kak.. ahh.. uhh", terdengar gadis itu merintih
panjang. Aku dengan pelan dan pasti mulai membuka kancing, lalu
menurunkan retsleting rok abu-abu itu, seakan Fanny tidak peduli dengan
tindakanku itu. Rangsangan yang membuat birahinya memuncak membuatnya
bertekuk lutut, menyerah.


"Jangan Kak.. aahh", tapi aku tidak peduli, bahkan kemudian Fanny malah
membantu menurunkan roknya sendiri dengan mengangkat pantatnya. Aku
tertegun sejenak melihat tubuh putih mulus dan indah itu. Kemudian badan
gadis itu kubalikkan sehingga posisinya tengkurap, bibirku merayap ke
leher belakang dan punggung.


"Uuuhh", ketika membalikkan badan, Fanny melihat sesuatu yang menonjol
di balik celana dalamku. Dia kaget, malu, tapi ingin tahu. "Aaahh".
Fanny mulai merapatkan kakinya, ada perasaan risih sesaat, kemudian
hilang kalah oleh nafsu birahi yang telah menyelimuti perasaannya.
"Ahh..", dia diam saja saat aku kembali mencium bibirnya, membimbing
tangannya ke bawah di antara pangkal paha, dia kini memegang dan
merasakan serdadu yang keras bulat dan panjang di balik celanaku,
sejenak Fanny sejenak mengelus-elus benda yang membuat hatinya
penasaran, tapi kemudian dia kaget dan menarik tangannya.


"Aaahh", Fanny tak kuberikan kesempatan untuk berfikir lain, ketika
mulutku kembali memainkan puting susu mungil yang berdiri tegak dengan
indahnya di atas tonjolan dada. Vaginanya terasa makin membanjir, hal
ini membuat birahinya makin memuncak. "Ahh.. ahh.. teruuus.. ahh.. uhh",
sambil terus memainkan buah dadanya, tanganku menari naik turun antara
lutut dan pangkal pahanya yang putih mulus yang masih tertutup celana.
Tanpa disadarinya, karena nikmat, tanganku mulai menyusup di bawah
celana dalamnya dan mengusap-usap lembut bawah pusar yang mulai
ditumbuhi rambut, pangkal paha, dan pantatnya yang kenyal terbentuk
dengan indahnya bergantian.


"Teruuuss.. aaahh.. uuuhh", karena geli dan nikmat Fanny mulai membuka
kakinya, jari-jari Rene yang nakal mulai menyusup dan mengelus vaginanya
dari bagian luar celana, birahinya memuncak sampai kepala.


"Ahh.. terus.. ahh.. ohh", gadis itu kaget sejenak, kemudian kembali
merintih rintih. Melihat Fanny menggelinjang kenikmatan, tanganku
mencoba mulai menyusup di balik celana melalui pangkal paha dan
mengelus-elus dengan lembut vaginanya yang basah lembut dan hangat.
Fanny makin menggelinjang dan birahinya makin membara. "Ahh.. teruusss
ooh", Fanny merintih rintih kenikmatan.


Aku tahu gadis itu hampir mencapai puncak birahi, dengan mudah tanganku
mulai beraksi menurunkan celana dalam gadis itu perlahan. Benar saja,
Fanny membiarkannya, sudah tidak peduli lagi bahkan mengangkat pantat
dan kakinya, sehingga celana itu terlepas tanpa halangan.


Tubuh gadis itu kini tergolek bugil di depan mataku, tampak semakin
indah dan merangsang. Pangkal pahanya yang sangat bagus itu dihiasi
bulu-bulu lembut yang mulai tumbuh halus. Vaginanya tampak kemerahan dan
basah dengan puting vagina mungil di tengahnya. Aku terus memainkan
puting susu yang sekarang berdiri tegak sambil terus mengelus bibir
vagina makin membanjir. "Kak.. ahh, terus Kak.. ahh.. uhh".


Vagina yang basah terasa geli dan gatal, nikmat sampai ujung kepala.
"Kak.. aahh", Fanny tak tahan lagi dan tangannya menyusup di bawah
celana dalamku dan memegang serdadu yang keras bulat dan panjang itu.
Fanny tidak merasa malu lagi, bahkan mulai mengimbangi gerakanku.


Aku tersenyum penuh kemenangan melihat tindakan gadis itu, secara tidak
langsung gadis itu meminta untuk bertindak lebih jauh lagi. Aku melepas
celana dalamku, melihat serdaduku yang besar dan keras berdiri tegak
dengan gagahnya, mata gadis itu terbelalak kagum.


Sekarang kami tidak memakai penutup sama sekali. Fanny kagum sampai
mulutnya menganga melihat serdadu yang besar dan keras berdiri tegak
dengan gagahnya, baru pertama kali dia melihat benda itu. Vaginanya
pasti sudah sangat geli dan gatal, dia tidak peduli lagi kalau masih
perawan, kemudian telentang dan pelan-pelan membuka leber-lebar pahanya.


Sejenak aku tertegun melihat vagina yang bersih kemerahan dan dihisi
bulu-bulu yang baru tumbuh, lubang vaginanya tampak masih tertutup
selaput perawan dengan lubang kecil di tengahnya.


Fanny hanya tertegun saat aku berada di atasnya dengan serdadu yang
tegak berdiri. Sambil bertumpu pada lutut dan siku, bibirku melumat,
mencium, dan kadang menggigit kecil menjelajahi seluruh tubuhnya.
Kuluman di puting susu yang disertai dengan gesekan-gesekan ujung burung
ke bibir vaginanya kulakukan dengan hati-hati, makin membasah dan
nikmat tersendiri. "Kak.. ahh, terus ssts.. ahh.. uhh", birahinya
memuncak bisa-bisa sampai kepalanya terasa kesemutan, dipegangnya
serdaduku. "Ahh" terasa hangat dan kencang.


"Kak.. ahh!", dia tak dapat lagi menahan gejolak biraninya, membimbing
serdaduku ke lubang vaginanya, dia mulai menginginkan serdaduku
menyerang ke lubang dan merojok vaginanya yang terasa sangat geli dan
gatal. "Uuuhh.. aaahh", tapi aku malah memainkan topi baja serdaduku
sampai menyenggol-nyenggol selaput daranya. "Ooohh Kak masukkan ahh",
gadis itu sampai merintih rintih dan meminta-minta dengan penuh
kenikmatan.


Dengan hati-hati dan pelan-pelan aku terus mempermainkan gadis itu
dengan serdaduku yang keras, hangat tapi lembut itu menyusuri bibir
vagina. "Ooohh Kak masukkan aaahh", di sela rintihan nikmat gadis itu,
setelah kulihat puting susunya mengeras dan gerakannya mulai agak lemas,
serdadu mulai menyerang masuk dan menembus selaput daranya, Sreetts
"Aduuhh.. aahh", tangannya mencengkeram bahuku. Dengan begitu, Fanny
hanya merasa lubang vaginanya seperti digigit nyamuk, tidak begitu
sakit, saat selaput dara itu robek, ditembus serdaduku yang besar dan
keras. Burungku yang terpercik darah perawan bercampur lendir vaginanya
terus masuk perlahan sampai setengahnya, ditarik lagi pelan-pelan dan
hati-hati. "Ahh", dia merintih kenikmatan.


Aku tidak mau terburu-buru, aku tidak ingin lubang vagina yang masih
agak seret itu menjadi sakit karena belum terbiasa dan belum elastis.
Burung itu masuk lagi setengahnya dan.. Sreeets "Ohh..", kali ini tidak
ada rasa sakit, Fanny hanya merasakan geli saat dirasakan burung itu
keluar masuk merojok vaginanya. Fanny menggelinjang dan mengimbangi
gerakan dan mendekap pinggangnya.


"Kak.. ahh, terus Kak.. ohh.. uhh", serdaduku terus menghunjam semakin
dalam. Ditarik lagi, "Aaahh", masuk lagi. "Ahh, terus… ahh.. uhh",
lubang vagina itu makin lama makin mengembang, hingga burung itu bisa
masuk sampai mencapai pangkalnya beberapa kali. Fanny merasakan nikmat
birahinya memuncak di kepala, perasaannya melayang di awan-awan,
badannya mulai bergeter getar dan mengejang, dan tak tertahankan lagi.
"Aaahh, ooohh, aaahh" vaginanya berdenyut-denyut melepas nikmat. Dia
telah mencapai puncak orgasme, kemudian terlihat lega yang menyelimuti
dirinya.


Melihat Fanny sudah mencapai orgasme, aku kini melepas seluruh rasa
birahi yang tertahan sejak tadi dan makin cepat merojok keluar masuk
lubang vagina Fanny, "Kak.. ahh.. ssst.. ahh.. uhh", Fanny merintih dan
merasakan nikmat birahinya memuncak kembali. Badannya kembali bergetar
dan mengejang, begitu juga denganku.

"Ahh.. oohh.. ohh.. aaaahh!", kami merintih rintih panjang menuju puncak
kenikmatan. Dan mereka mencapai orgasme hampir bersamaan, terasa
serdadu menyemburkan air mani hangat ke dalam vagina gadis itu yang
masih berdenyut nikmat.


Aku mengeluarkan serdadu yang terpercik darah perawan itu pelan-pelan,
berbaring di sebelah Fanny dan memeluknya supaya Fanny merasa aman, dia
tampak merasa sangat puas dengan pelajaran tahap awal yang kuberikan.
"Bagaimana kalau Fanny hamil Kak", katanya sambil sudut matanya
mengeluarkan air mata.


Sesaat kemudian aku dengan sabar menjelaskan bahwa Fanny tidak mungkin
hamil, karena tidak dalam masa siklus subur, berkat pengalamanku
menganalisa kekentalan lendir yang keluar dari vagina dan siklus
menstruasinya.


Fanny semakin merasa lega, aman, merasa disayang. Kejadian tadi bisa
berlangsung karena merupakan keinginan dan kerelaannya juga. Diapun bisa
tersenyum puas dan menitikkan air mata bahagia, kemudian tertidur pulas
dipelukanku yang telah menjadikannya seorang perempuan.


Bangun tidur, Fanny membersihkan badan di kamar mandi. Selesai mandi dia
kembali ke kamar, dilepasnya handuk yang melilit tubuhnya, begitu indah
dan menggairahkan sampai-sampai aku tak berkedip memandangnya.
Diambilnya pakaian yang berserakan dan dikenakannya kembali satu
persatu. Kemudian dia pamit pulang dan mencium pipiku yang masih
berbaring di tempat tidur.

Bercinta Dengan Tante Yanmi Yang Super Hot Seksi Menggairahkan






Jakarta! Ya, akhirnya jadi juga aku ke Jakarta. Kota impian semua
orang, paling tidak bagi orang sedesaku di Gumelar, Kabupaten Banyumas,
23 Km ke arah utara Purwokerto, Jawa Tengah. Aku memang orang desa.
Badanku tidak menggambarkan usiaku yang baru menginjak 16 tahun, bongsor
berotot dengan kulit sawo gelap. Baru saja aku menamatkan ST (Sekolah
Teknik) Negeri Baturaden, sekitar 5 Km dari Desa Gumelar, atau 17 Km
utara Purwokerto. Kegiatanku sehari-hari selama ini kalau tidak sekolah,
membantu Bapak dan Emak berkebun. Itulah sebabnya badanku jadi kekar
dan kulit gelap. Kebunku memang tak begitu luas, tapi cukup untuk
menopang kehidupan keluarga kami sehari-hari yang hanya 5 orang. Aku
punya 2 orang adik laki-laki semua, 12 dan 10 tahun.

Boleh dikatakan aku ini orangnya ?kuper?. Anak dari desa kecil yang
terdiri dari hanya belasan rumah yang terletak di kaki Gunung Slamet.
Jarak antar rumahpun berjauhan karena diselingi kebun-kebun, aku jadi
jarang bertemu orang. Situasi semacam ini mempengaruhi kehidupanku
kelak. Rendah diri, pendiam dan tak pandai bergaul, apalagi dengan
wanita. Pengetahuanku tentang wanita hampir dapat dikatakan nol, karena
lingkungan bergaulku hanya seputar rumah, kebun, dan sekolah teknik yang
muridnya 100% lelaki.

Pembaca yang budiman, kisah yang akan Anda baca ini adalah pengalaman
nyata kehidupanku sekitar 9 sampai 6 tahun lalu. Pengalaman nyata ini
aku ceritakan semuanya kepada Mas Joko, kakak kelasku, satu-satunya
orang yang aku percayai yang hobinya memang menulis. Dia sering menulis
untuk majalah dinding, buletin sekolah, koran dan majalah lokal yang
hanya beredar di seputar Purwokerto. Mas Joko kemudian meminta izinku
untuk menulis kisah hidupku ini yang katanya unik dan katanya akan
dipasang di internet. Aku memberinya izin asalkan nama asliku tidak
disebutkan. Jadi panggil saja aku Tarto, nama samaran tentu saja.

Aku ke Jakarta atas seizin orang tuaku, bahkan merekalah yang
mendorongnya. Pada mulanya aku sebenarnya enggan meninggalkan
keluargaku, tapi ayahku menginginkan aku untuk melanjutkan sekolah ke
STM. Aku lebih suka kerja saja di Purwokerto. Aku menerima usulan ayahku
asalkan sekolah di SMA (sekarang SMU) dan tidak di kampung. Dia memberi
alamat adik misannya yang telah sukses dan tinggal di bilangan Tebet,
Jakarta. Ayahku sangat jarang berhubungan dengan adik misannya itu.
Paling hanya beberapa kali melalui surat, karena telepon belum masuk ke
desaku. Kabar terakhir yang aku dengar dari ayahku, adik misannya itu,
sebut saja Oom Ton, punya usaha sendiri dan sukses, sudah berkeluarga
dengan satu anak lelaki umur 4 tahun dan berkecukupan. Rumahnya lumayan
besar. Jadi, dengan berbekal alamat, dua pasang pakaian, dan uang
sekedarnya, aku berangkat ke Jakarta. Satu-satunya petunjuk yang aku
punyai: naik KA pagi dari Purwokerto dan turun di stasiun Manggarai.
Tebet tak jauh dari stasiun ini.

Stasiun Manggarai, pukul 15.20 siang aku dicekam kebingungan. Begitu
banyak manusia dan kendaraan berlalu lalang, sangat jauh berbeda dengan
suasana desaku yang sepi dan hening. Singkat cerita, setelah ?berjuang?
hampir 3 jam, tanya ke sana kemari, dua kali naik mikrolet (sekali salah
naik), sekali naik ojek yang mahalnya bukan main, sampailah aku pada
sebuah rumah besar dengan taman yang asri yang cocok dengan alamat yang
kubawa.

Berdebar-debar aku masuki pintu pagar yang sedikit terbuka, ketok pintu
dan menunggu. Seorang wanita muda, berkulit bersih, dan .. ya ampun,
menurutku cantik sekali (mungkin di desaku tidak ada wanita cantik),
berdiri di depanku memandang dengan sedikit curiga. Setelah aku jelaskan
asal-usulku, wajahnya berubah cerah. ?Tarto, ya ? Ayo masuk, masuk.
Kenalkan, saya Tantemu.? Dengan gugup aku menyambut tangannya yang
terjulur. Tangan itu halus sekali. ?Tadinya Oom Ton mau jemput ke
Manggarai, tapi ada acara mendadak. Tante engga sangka kamu sudah
sebesar ini. Naik apa tadi, nyasar, ya ?? Cecarnya dengan ramah. ?Maaar,
bikin minuman!? teriaknya kemudian. Tak berapa lama datang seorang
wanita muda meletakkan minuman ke meja dengan penuh hormat. Wanita ini
ternyata pembantu, aku kira keponakan atau anggota keluarga lainnya,
sebab terlalu ?trendy? gaya pakaiannya untuk seorang pembantu.

Sungguh aku tak menduga sambutan yang begitu ramah. Menurut cerita yang
aku dengar, orang Jakarta terkenal individualis, tidak ramah dengan
orang asing, antar tetangga tak saling kenal. Tapi wanita tadi, isteri
Oomku, Tante Yani namanya (?Panggil saja Tante,? katanya akrab) ramah,
cantik lagi. Tentu karena aku sudah dikenalkannya oleh Oom Ton.

Aku diberi kamar sendiri, walaupun agak di belakang tapi masih di rumah
utama, dekat dengan ruang keluarga. Kamarku ada AC-nya, memang seluruh
ruang yang ada di rumah utama ber-AC. Ini suatu kemewahan bagiku.
Dipanku ada kasur yang empuk dan selimut tebal. Walaupun AC-nya cukup
dingin, rasanya aku tak memerlukan selimut tebal itu. Mungkin aku cukup
menggunakan sprei putih tipis yang di lemari itu untuk selimut. Rumah di
desaku cukup dingin karena letaknya di kaki gunung, aku tak pernah
pakai selimut, tidur di dipan kayu hanya beralas tikar. Aku diberi
?kewenangan? untuk mengatur kamarku sendiri.

Aku masih merasa canggung berada di rumah mewah ini. Petang itu aku tak
tahu apa yang musti kukerjakan. Selesai beres-beres kamar, aku hanya
bengong saja di kamar. ?Too, sini, jangan ngumpet aja di kamar,? Tante
memanggilku. Aku ke ruang keluarga. Tante sedang duduk di sofa nonton
TV. ?Sudah lapar, To ?? ?Belum Tante.? Sore tadi aku makan kue-kue yang
disediakan Si Mar. ?Kita nunggu Oom Ton ya, nanti kita makan malam
bersama-sama.? Oom Ton pulang kantor sekitar jam 19 lewat. ?Selamat
malam, Oom,? sapaku. ?Eh, Ini Tarto ? Udah gede kamu.? ?Iya Oom.?
?Gimana kabarnya Mas Kardi dan Yu Siti,? Oom menanyakan ayah dan ibuku.
?Baik-baik saja Oom.? Di meja makan Oom banyak bercerita tentang rencana
sekolahku di Jakarta. Aku akan didaftarkan ke SMA Negeri yang dekat
rumah. Aku juga diminta untuk menjaga rumah sebab Oom kadang-kadang
harus ke Bandung atau Surabaya mengurusi bisnisnya. ?Iya, saya
kadang-kadang takut juga engga ada laki-laki di rumah,? timpal Tante.
?Berapa umurmu sekarang, To ?? ?Dua bulan lagi saya 16 tahun, Oom.?
?Badanmu engga sesuai umurmu.?

***

Hari-hari baruku dimulai. Aku diterima di SMA Negeri 26 Tebet, tak jauh
dari rumah Oom dan Tanteku. Ke sekolah cukup berjalan kaki. Aku memang
belum sepenuhnya dapat melepas kecanggunganku. Bayangkan, orang udik
yang kuper tamatan ST (setingkat SLTP) sekarang sekolah di SMA
metropolitan. Kawan sekolah yang biasanya lelaki melulu, kini banyak
teman wanita, dan beberapa diantaranya cantik-cantik. Cantik ? Ya, sejak
aku di Jakarta ini jadi tahu mana wanita yang dianggap cantik, tentunya
menurut ukuranku. Dan tanteku, Tante Yani, isteri Oom Ton menurutku
paling cantik, dibandingkan dengan kawan-kawan sekolahku, dibanding
dengan tante sebelah kiri rumah, atau gadis (mahasiswi ?) tiga rumah ke
kanan. Cepat-cepat kuusir bayangan wajah tanteku yang tiba-tiba muncul.
Tak baik membayangkan wajah tante sendiri. Pada umumnya teman-teman
sekolahku baik, walaupun kadang-kadang mereka memanggilku ?Jawa?, atau
meledek cara bicaraku yang mereka sebut ?medok?. Tak apalah, tapi saya
minta mereka panggil saja Tarto. Alasanku, kalau memanggil ?Jawa?, toh
orang Jawa di sekolah itu bukan hanya aku. Mereka akhirnya mau menerima
usulanku. Terus terang aku di kelas menjadi cepat populer, bukan karena
aku pandai bergaul. Dibandingkan teman satu kelas tubuhku paling tinggi
dan paling besar. Bukan sombong, aku juga termasuk murid yang pintar.
Aku memang serius kalau belajar, kegemaranku membaca menunjang
pengetahuanku.

Kegemaranku membaca inilah yang mendorongku bongkar-bongkar isi rak buku
di kamarku di suatu siang pulang sekolah. Rak buku ini milik Oom Ton.
Nah, di antara tumpukan buku, aku menemukan selembar majalah bergambar,
namanya Popular.

Rupanya penemuan majalah inilah merupakan titik awalku belajar mandiri
tentang wanita. Tidak sendiri sebetulnya, sebab ada ?guru? yang
diam-diam membimbingku. Kelak di kemudian hari aku baru tahu tentang
?guru? itu.

Majalah itu banyak memuat gambar-gambar wanita yang bagus, maksudnya
bagus kualitas fotonya dan modelnya. Dengan berdebar-debar satu-persatu
kutelusuri halaman demi halaman. Ini memang majalah hiburan khusus pria.
Semua model yang nampang di majalah itu pakaiannya terbuka dan seronok.
Ada yang pakai rok demikian pendeknya sehingga hampir seluruh pahanya
terlihat, dan mulus. Ada yang pakai blus rendah dan membungkuk
memperlihatkan bagian belahan buah dada. Dan, ini yang membuat jantungku
keras berdegup : memakai T-shirt yang basah karena disiram, sementara
dalamnya tidak ada apa-apa lagi. Samar-samar bentuk sepasang buah kembar
kelihatan. Oh, begini tho bentuk tubuh wanita. Dasarnya aku sangat
jarang ketemu wanita. Kalau ketemu-pun wanita desa atau embok-embok, dan
yang aku lihat hanya bagian wajah. Bagaimana aku tidak deg-deg-an baru
pertama kali melihat gambar tubuh wanita, walaupun hanya gambar paha dan
sebagian atas dada.

Sejak ketemu majalah Popular itu aku jadi lain jika memandang wanita
teman kelasku. Tidak hanya wajahnya yang kulihat, tapi kaki, paha dan
dadanya ?kuteliti?. Si Rika yang selama ini aku nilai wajahnya lumayan
dan putih, kalau ia duduk menyilangkan kakinya ternyata memiliki paha
mulus agak mirip foto di majalah itu. Memang hanya sebagian paha bawah
saja yang kelihatan, tapi cukup membuatku tegang. Ya tegang. ?Adikku?
jadi keras! Sebetulnya penisku menjadi tegang itu sudah biasa setiap
pagi. Tapi ini tegang karena melihat paha mulus Rika adalah pengalaman
baru bagiku. Sayangnya dada Rika tipis-tipis saja. Yang dadanya besar si
Ani, demikian menonjol ke depan. Memang ia sedikit agak gemuk. Aku
sering mencuri pandang ke belahan kemejanya. Dari samping terkadang
terbuka sedikit memperlihatkan bagian dadanya di sebelah kutang. Walau
terlihat sedikit cukup membuatku ?ngaceng?. Sayangnya, kaki Ani tak
begitu bagus, agak besar. Aku lalu membayangkan bagaimana bentuk dada
Ani seutuhnya, ah ngaceng lagi! Atau si Yuli. Badannya biasa-biasa saja,
paha dan kaki lumayan berbentuk, dadanya menonjol wajar, tapi aku
senang melihat wajahnya yang manis, apalagi senyumnya. Satu lagi, kalau
ia bercerita, tangannya ikut ?sibuk?. Maksudku kadang mencubit, menepuk,
memukul, dan, ini dia, semua roknya berpotongan agak pendek. Ah, aku
sekarang punya ?wawasan? lain kalau memandang teman-teman cewe.

Ah! Tante Yani! Ya, kenapa selama ini aku belum ?melihat dengan cara
lain?? Mungkin karena ia isteri Oomku, orang yang aku hormati, yang
membiayai hidupku, sekolahku. Mana berani aku ?menggodanya? meskipun
hanya dari cara memandang. Sampai detik ini aku melihat Tante Yani
sebagai : wajahnya putih bersih dan cantik. Tapi dasar setan selalu
menggoda manusia, bagaimana tubuhnya ? Ah, aku jadi pengin cepat-cepat
pulang sekolah untuk ?meneliti? Tanteku. Jangan ah, aku menghormati
Tanteku.

Aduh! Kenapa begini ? Apanya yang begini ? Tante Yani! Seperti biasa,
kalau pulang aku masuk dari pintu pagar langsung ke garasi, lalu masuk
dari pintu samping rumah ke ruang keluarga di tengah-tengah rumah.
Melewati ruang keluarga, sedikit ke belakang sampai ke kamarku. Isi
ruang keluarga ini dapat kugambarkan : di tengahnya terhampar karpet
tebal yang empuk yang biasa digunakan tante untuk membaca sambil
rebahan, atau sedang dipijit Si Mar kalau habis senam. Agak di belakang
ada satu set sofa dan pesawat TV di seberangnya. Sewaktu melewati ruang
keluarga, aku menjumpai Tante Yani duduk di kursi dekat TV menyilang
kaki sedang menyulam, berpakaian model kimono. Duduknya persis si Rika
tadi pagi, cuma kaki Tante jauh lebih indah dari Rika. Putih, bersih,
panjang, di betis bawahnya dihiasi bulu-bulu halus ke atas sampai paha.
Ya, paha, dengan cara duduk menyilang, tanpa disadari Tante belahan
kimononya tersingkap hingga ke bagian paha agak atas. Tanpa sengaja pula
aku jadi tahu bahwa tante memiliki paha selain putih bersih juga
berbulu lembut. Sejenak aku terpana, dan lagi-lagi tegang. Untung aku
cepat sadar dan untung lagi Tante begitu asyik menyulam sehingga tidak
melihat ulah keponakannya yang dengan kurang ajar ?memeriksa? pahanya.
Ah, kacau.

Sebenarnya tidak sekali ini aku melihat Tante memakai kimono. Kenapa aku
tadi terangsang mungkin karena ?penghayatan? yang lain, gara-gara
majalah itu. Selesai makan ada dorongan aku ingin ke ruang tengah,
meneruskan ?penelitianku? tadi. Aku ada alasan lain tentu saja, nonton
TV swasta, hal baru bagiku. Mungkin aku mulai kurang ajar : mengambil
posisi duduk di sofa nonton TV tepat di depan Tante, searah-pandang
kalau mengamati pahanya! ?Gimana sekolahmu tadi To ?? tanya Tante
tiba-tiba yang sempat membuatku kaget sebab sedang memperhatikan
bulu-bulu kakinya. ?Biasa-biasa saja Tante.? ?Biasa gimana ? Ada
kesulitan engga ?? ?Engga Tante.? ?Udah banyak dapat kawan ?? ?Banyak,
kawan sekelas.? ?Kalau kamu pengin main lihat-lihat kota, silakan aja.?
?Terima kasih, Tante. Saya belum hafal angkutannya.? ?Harus dicoba, yah
nyasar-nyasar dikit engga apa-apa, toh kamu tahu jalan pulang.? ?Iya
Tante, mungkin hari Minggu saya akan coba.? ?Kalau perlu apa-apa, uang
jajan misalnya atau perlu beli apa, ngomong aja sama Tante, engga usah
malu-malu.? Gimana kurang baiknya Tanteku ini, keponakannya saja yang
nakal. Nakal ? Ah ?kan cuma dalam pikiran saja, lagi pula hanya
?meneliti? kaki yang tanpa sengaja terlihat, apa salahnya. ?Terima kasih
Tante, uang yang kemarin masih ada kok.? ?Emang kamu engga jajan di
sekolah ?? Berdesir darahku. Sambil mengucapkan ?jajan? tadi Tante
mengubah posisi kakinya sehingga sekejap, tak sampai sedetik, sempat
terlihat warna merah jambu celana dalamnya! Aku berusaha keras
menenangkan diri. ?Jajan juga sih, hanya minuman dan makanan kecil.?
Akupun ikut-ikutan mengubah posisi, ada sesuatu yang mengganjal di dalam
celanaku. Untung Tante tidak memperhatikan perubahan wajahku. Sepanjang
siang ini aku bukannya nonton TV. Mataku lebih sering ke arah Tante,
terutama bagian bawahnya!

Hari-hari berikutnya tak ada kejadian istimewa. Rutin saja, sekolah,
makan siang, nonton TV, sesekali melirik kaki Tante. Oom Ton pulang
kantor selalu malam hari. Saat ketemu Oomku hanya pada makan malam,
bertiga. Si Luki, anak lelakinya 4 tahun biasanya sudah tidur. Kalau
Luki sudah tidur, Tinah, pengasuhnya pamitan pulang. Pada acara makan
malam ini, sebetulnya aku punya kesempatan untuk menikmati? (cuma dengan
mata) paha mulus berbulu Tante, sebab malam ini ia memakai rok pendek,
biasanya memakai daster. Tapi mana berani aku menatap pemandangan indah
ini di depan Oom. Betapa bahagianya mereka menurut pandanganku. Oom
tamat sekolahnya, punya usaha sendiri yang sukses, punya isteri yang
cantik, putih, mulus. Anak hanya satu. Punya sopir, seorang pembantu, Si
Mar dan seorang baby sitter Si Tinah. Sopir dan baby sitter tidak
menginap, hanya pembantu yang punya kamar di belakang. Praktis Tante
Yani banyak waktu luang. Anak ada yang mengasuh, pekerjaan rumah tangga
beres ditangan pembantu. Oh ya, ada seorang lagi, pengurus taman biasa
di panggil Mang Karna, sudah agak tua yang datang sewaktu-waktu, tidak
tiap hari.

Keesokkan harinya ada kejadian ?penting? yang perlu kuceritakan.
Pagi-pagi ketika aku sedang menyusun buku-buku yang akan kubawa ke
sekolah, ada beberapa lembar halaman yang mungkin lepasan atau sobekan
dari majalah luar negeri terselip di antara buku-buku pelajaranku. Aku
belum sempat mengamati lembaran itu, karena buru-buru mau berangkat
takut telat. Di sekolah pikiranku sempat terganggu ingat sobekan majalah
berbahasa Inggris itu, milik siapa ? Tadi pagi sekilas kulihat ada
gambarnya wanita hanya memakai celana jean tak berbaju. Inilah yang
mengganggu pikiranku. Sempat kubayangkan, bagaimana kalau Ani hanya
memakai jean. Kaki dan pahanya yang kurang bagus tertutup, sementara
bulatan dadanya yang besar terlihat jelas. Ah.. nakal kamu To!

Pulang sekolah tidak seperti biasa aku tidak langsung ke meja makan,
tapi ngumpet di kamarku. Pintu kamar kukunci dan mulai mengamati sobekan
majalah itu. Ada 4 lembar, kebanyakan tulisan yang tentu saja tidak
kubaca. Aku belum paham Bahasa Inggris. Di setiap pojok bawah lembaran
itu tertulis: Penthouse. Langsung saja ke gambar.

Gemetaran
aku dibuatnya. Wanita bule, berpose membusungkan dadanya yang besar,
putih, mulus, dan terbuka seluruhnya! Paha dan kakinya meskipun tertutup
jean ketat, tapi punya bentuk yang indah, panjang, persis kaki milik
Tante. Hah, kenapa aku jadi membandingkan dengan tubuh Tante ? Peduli
amat, tapi itulah yang terbayang. Kenapa aku sebut kejadian penting,
karena baru sekaranglah aku tahu bentuk utuh sepasang buah dada,
meskipun hanya dari foto. Bulat, di tengah ada bulatan kecil warna
coklat, dan di tengah-tengah bulatan ada ujungnya yang menonjol keluar.
Segera saja tubuhku berreaksi, penisku tegang, dada berdebar-debar.
Halaman berikutnya membuatku lemas, mungkin belum makan. Masih wanita
bule yang tadi tapi sekarang di close-up. Buah dadanya makin jelas,
sampai ke pori-porinya. Ini kesempatanku untuk ?mempelajari? anatomi
buah kembar itu. Dari atas kulit itu bergerak naik, sampai puting yang
merupakan puncaknya, kemudian turun lagi ?membulat?. Ya, beginilah
bentuk buah dada wanita. Putingnya, apakah selalu menonjol keluar
seperti menunjuk ke depan ? Jawabannya baru tahu kelak kemudian hari
ketika aku ?praktek?. Tiba-tiba terlintas pikiran nakal, Tante Yani!
Bagaimana ya bentuk buah dada Tanteku itu ? Ah, kenapa selama ini aku
tak memperhatikannya. Asyik lihat ke bawah terus sih! Memang
kesempatannya baru lihat paha. Kimono Tante waktu itu, kalau tak salah,
tertutup sampai dibawah lehernya. Tapi ?kan bisa lihat bentuk luarnya.
Ah, memang mataku tak sampai kesitu. Melihat bentuk paha dan kaki cewe
bule ini mirip milik Tante, aku rasa bentuk dadanyapun tak jauh berbeda,
begitu aku mencoba memperkirakan. Begitu banyak aku berdialog dengan
diri sendiri tentang buah dada. Begitu banyak pertanyaan yang bermuara
pada pertanyaan inti : Bagaimana bentuk buah dada Tanteku yang cantik
itu ? Untungnya, atau celakanya, pertanyaanku itu segera mendapat
jawaban, di meja makan. Di pertengahan makan siangku, Tante muncul
istimewa. Mengenakan baju-mandi, baju mirip kimono tapi pendek dari
bahan seperti handuk tapi lebih tipis warna putih dan ada pengikat di
pinggangnya. Tante kelihatan lain siang itu, segar, cerah. Kelihatannya
baru selesai mandi dan keramas, sebab rambutnya diikat handuk ke atas
mirip ikat kepala para syeh. ?Oh, kamu sudah pulang, engga kedengaran
masuknya,? sapanya ramah sambil berjalan menuju ke tempatku. ?Dari tadi
Tante,? jawabku singkat. Ia berhenti, berdiri tak jauh dari dudukku.
Kedua tangannya ke atas membenahi handuk di rambutnya. Posisi tubuh
Tante yang beginilah memberi jawaban atas pertanyaanku tadi. Luar biasa!
Besar juga buah dada Tante ini, persis seperti perkiraanku tadi,
bentuknya mirip punya cewe bule di Penthouse tadi.

Meskipun aku melihatnya masih ?terbungkus? baju-mandi, tapi jelas
alurnya, bulat menonjol ke depan. Di bagian kanan baju mandinya rupanya
ada yang basah, ini makin mempertegas bentuk buah indah itu. Samar-samar
aku bisa melihat lingkaran kecil di tengahnya. Sehabis mandi mungkin
hanya baju-mandi itu saja yang membungkus tubuhnya sekarang. Bawahnya
aku tak tahu. Bawahnya! Ya, aku melupakan pahanya. Segera saja mataku
turun. Kini lebih jelas, bulu-bulu lembut di pahanya seperti diatur,
berbaris rapi. Ah aku sekarang lagi tergila-gila buah dada. Pandanganku
ke atas lagi. Mudah-mudahan ia tak melihatku melahap (dengan mata)
tubuhnya. Memang ia tidak memperhatikanku, pandangannya ke arah lain
masih terus asyik merapikan rambutnya. Tapi aku tak bisa berlama-lama
begini, disamping takut ketahuan, lagipula aku ?kan sedang makan.
Kuteruskan makanku. Bagaimana reaksi tubuhku, susah diceritakan. Yang
jelas kelaminku tegang luar biasa. Tiba-tiba ia menarik kursi makan di
sebelahku dan duduk. Ah, wangi tubuhnya terhirup olehku. ?Makan yang
banyak, tambah lagi tuh ayamnya.? Bagaimana mau makan banyak, kalau
?diganggu? seperti ini. Aku mengiakan saja. Rupanya ?gangguan nikmat?
belum selesai. Aku duduk menghadap ke utara. Di dekatku duduk si
Badan-sintal yang habis mandi, menghadap ke timur. Aku bebas melihat
tubuhnya dari samping kiri. Ia menundukkan kepalanya dan mengurai
rambutnya ke depan. Dengan posisi seperti ini, badan agak membungkuk ke
depan dan satu-satunya pengikat baju ada di pinggang, dengan serta merta
baju mandinya terbelah dan menampakkan pemandangan yang bukan main.
Buah dada kirinya dapat kulihat dari samping dengan jelas. Ampun..
putihnya, dan membulat. Kalau aku menggeser kepalaku agak ke kiri,
mungkin aku bisa melihat putingnya. Tapi ini sih ketahuan banget. Jangan
sampai. Betapa tersiksanya aku siang ini. Tersiksa tapi nikmat! Oh
Tuhan, janganlah aku Kau beri siksa yang begini. Aku khawatir tak
sanggup menahan diri. Rasa-rasanya tanganku ingin menelusup ke belahan
baju mandi ini lalu meremas buah putih itu? Kalau itu terjadi, bisa-bisa
aku dipulangkan, dan hilanglah kesempatanku meraih masa depan yang
lebih baik. Apa yang kubilang pada ayahku ? Dapat kupastikan ia marah
besar, dan artinya, kiamat bagiku.

Untung, atau sialnya, Tante cepat bangkit menuju ke kamar sambil
menukas: ?Teruskan ya makannya.? ?Ya Tante,? sahutku masih gemetaran.
Aah., aku menemukan sesuatu lagi. Aku mengamati Tante berjalan ke
kamarnya dari belakang, gerakan pinggulnya indah sekali. Pinggul yang
tak begitu lebar, tapi pantatnya demikian menonjol ke belakang. Tubuh
ideal, memang.

Malamnya aku disuruh makan duluan sendiri. Tante menunggu Oom yang telat
pulang malam ini. Masih terbayang kejadian siang tadi bagaimana aku
menikmati pemandangan dada Tante yang membuat aku tak begitu selera
makan. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan Tante yang muncul dari
kamarnya. Masih mengenakan baju-mandi yang tadi, rambutnya juga masih
diikat handuk. Langsung ia duduk disebelahku persis di kursi yang tadi.
Belum habis rasa kagetku, tiba-tiba pula ia pindah dan duduk di
pangkuanku! Bayangkan pembaca, bagaimana nervous-nya aku. Yang jelas
penisku langsung mengeras merasakan tindihan pantat Tante yang padat.
Disingkirkannya piringku, memegang tangan kiriku dan dituntunnya
menyelinap ke belahan baju-mandinya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan
emas ini. Kuremas dadanya dengan gemas. Hangat, padat dan lembut.

Tantepun menggoyang pantatnya, terasa enak di kelaminku. Goyangan makin
cepat, aku jadi merasa geli di ujung penisku. Rasa geli makin meningkat
dan meningkat, dan .. Aaaaah, aku merasakan nikmat yang belum pernah
kualami, dan eh, ada sesuatu terasa keluar berbarengan rasa nikmat tadi,
seperti pipis dan? aku terbangun. Sialan! Cuma mimpi rupanya. Masa
memimpikan Tante, aku jadi malu sendiri. Kejadian siang tadi begitu
membekas sampai terbawa mimpi. Eh, celanaku basah. Mana mungkin aku
ngompol. Lalu apa dong ? Cepat-cepat aku periksa. Memang aku ngompol!
Tapi tunggu dulu, kok airnya lain, lengket-lengket agak kental. Ah,
kenapa pula aku ini ? Apa yang terjadi denganku ? Besok coba aku tanya
pada Oom. Gila apa! Jangan sama Oom dong. Lalu tanya kepada Tante, tak
mungkin juga. Coba ada Mas Joko, kakak kelasku di ST dulu. Mungkin teman
sekolahku ada yang tahu, besok aku tanyakan.

***

Esoknya aku ceritakan hal itu kepada Dito teman paling dekat. Sudah
barang tentu kisahnya aku modifikasi, bukan Tante yang duduk di
pangkuanku, tapi ?seseorang yang tak kukenal?. ?Kamu baru mengalami tadi
malam ?? ?Ya, tadi malam.? ?Telat banget. Aku sudah mengalami sewaktu
kelas 2 SMP, dua tahun lalu. Itu namanya mimpi basah.? ?Mimpi basah ??
?Ya. Itu tandanya kamu mulai dewasa, sudah aqil-baliq. Lho, emangnya
kamu belum pernah dengar ?? Malu juga aku dibilang telat dan belum tahu
mimpi basah. Tapi juga ada rasa sedikit bangga, aku mulai dewasa!
?Rupanya kamu badan aja yang gede, pikiran masih anak-anak.? Ah biar
saja. Beberapa hari sebelum mimpi basah itu toh aku sudah ?menghayati?
wanita sebagai orang dewasa! ?Kamu punya pacar ?? ?Engga.? ?Atau pernah
pacaran ?? ?Engga juga.? ?Pantesan telat kalau begitu. Waktu kelas 3 SMP
aku punya pacar, teman sekelas. Enak deh, sekolah jadi semangat.?
?Kalau pacaran ngapain aja sih ?? tanyaku lugu. Memang betul aku belum
tahu tentang pacaran. Tentang wanitapun aku baru tahu beberapa hari
lalu. ?Ha.. ha.. ha.! Kampungan lu! Ya tergantung orangnya. Kalau aku
sih paling-paling ciuman, raba-raba, udah. Kalau si Ricky kelewatan,
sampai pacarnya hamil.? Ciuman, raba-raba. Aku pernah lihat orang ciuman
di filem TV, enak juga kelihatannya, belum pernah aku membayangkan.
Kalau meraba, pernah kubayangkan meremas dada Tante. ?Hamil ?? Pelajaran
baru nih. ?Ada juga yang sampai ?gitu? tapi engga hamil. Engga tahu aku
caranya gimana.? ?Gitu gimana ?? ?Kamu betul-betul engga tahu ?? Lalu
ia cerita bagaimana hubungan kelamin itu. Dengan bisik-bisik tentunya.
Aku jadi tegang. Pantaslah aku dibilang kampungan, memang betul-betul
baru tahu saat ini. Kelamin lelaki masuk ke kelamin wanita, keluar bibit
manusia, lalu hamil. Bibit! Mungkin yang keluar dari kelaminku semalam
adalah bibit manusia. Bagaimana mungkin kelaminku sebesar ini bisa masuk
ke lubang pipis wanita ? Sebesar apa lubangnya, dan di mana ? Yang
pernah aku lihat kelamin wanita itu kecil, berbentuk segitiga terbalik
dan ada belahan kecil di ujung bawahnya. Tapi yang kulihat dulu itu di
desa adalah kelamin anak-anak perempuan yang sedang mandi di pancuran.
Kelamin wanita dewasa sama sekali aku belum pernah lihat. Bagaimana
bentuknya ya ? Mungkin segitiganya lebih besar. Ah, pikiranku terlalu
jauh. Ciuman saja dulu. Aku sependapat dengan Dito, kalau pacaran ciuman
dan raba-raba saja. Aku jadi ingin pacaran, tapi siapa yang mau pacaran
sama aku yang kuper ini ? Ya dicari dong! Si Rika, Ani atau Yuli ?
Siapa sajalah, asal mau jadi pacarku, buat ciuman dan diraba-raba.
Sepertinya sedap.

Dalam perjalanan pulang aku membayangkan bagaimana seandainya aku
pacaran sama Rika. Pahanya yang lumayan mulus enak dielus-elus. Tanganku
terus ke atas membuka kancing bajunya, lalu menyelusup dan? sopir Bajaj
itu memaki-maki membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar aku berjalan terlalu
ke tengah. Di balik kutang Rika hanya ada sedikit tonjolan, tak ada
?pegangan?, kurang enak ah. Tiba-tiba Rika berubah jadi Ani. Melamun itu
memang enak, bisa kita atur semau kita. Ketika membuka kancing baju Ani
aku mulai tegang. Kususupkan empat jariku ke balik kutang Ani. Nah ini,
montok, keras walau tak begitu halus. Telapak tanganku tak cukup buat
?menampung? dada Ani. Aku berhenti, menunggu lampu penyeberangan menyala
hijau. Sampai di seberang jalan kusambung khayalanku. Ani telah berubah
menjadi Yuli.


Anak ini memang
manis, apalagi kalau tersenyum, bibirnya indah, setidaknya menurutku.
Aku mulai mendekatkan mulutku ke bibir Yuli yang kemudian membuka
mulutnya sedikit, persis seperti di film TV kemarin. Kamipun berciuman
lama. Kancing baju seragam Yulipun mulai kulepas, dua kancing dari atas
saja cukup. Kubayangkan, meski dari luar dada Yuli menonjol biasa, tak
kecil dan tak besar, ternyata dadanya besar juga. Kuremas-remas
sepuasnya sampai tiba di depan rumah.

Aku kembali ke dunia nyata. Masuk melalui pintu garasi seperti biasa,
membuka pintu tengah sampai ke ruang keluarga. Juga seperti biasa kalau
mendapati Tante sedang membaca majalah sambil rebahan di karpet, atau
menyulam, atau sekedar nonton TV di ruang keluarga. Yang tidak biasa
adalah, kedua bukit kembar itu. Tante membaca sambil tengkurap menghadap
pintu yang sedang kumasuki. Posisi punggungnya tetap tegak dengan
bertumpu pada siku tangannya. Mengenakan daster dengan potongan dada
rendah, rendah sekali. Inipun tak biasa, atau karena aku jarang
memperhatikan bagian atas. Tak ayal lagi, kedua bukit putih itu hampir
seluruhnya tampak. Belahannya jelas, sampai urat-urat lembut agak
kehijauan di kedua buah dada itu samar-samar nampak. Aku tak melewatkan
kesempatan emas ini. Tante melihat sebentar ke arahku, senyum sekejap,
terus membaca lagi. Akupun berjalan amat perlahan sambil mataku tak
lepas dari pemandangan amat indah ini?

Hampir lengkap aku ?mempelajari? tubuh Tanteku ini. Wajah dan
?komponen?nya mata, alis, hidung, pipi, bibir, semuanya indah yang
menghasilkan : cantik. Walaupun dilihat sekejap, apalagi berlama-lama.
Paha dan kaki, panjang, semuanya putih, mulus, berbulu halus. Pinggul,
meski baru lihat dari bentuknya saja, tak begitu lebar, proporsional,
dengan pantat yang menonjol bulat ke belakang. Pinggang, begitu sempit
dan perut yang rata. Ini juga hanya dari luar. Dan yang terakhir buah
dada. Hanya puting ke bawah saja yang belum aku lihat langsung. Kalau
daerah pinggul, bagian depannya saja yang aku belum bisa membayangkan.
Memang aku belum pernah membayangkan, apalagi melihat kelamin wanita
dewasa. Aku masih penasaran pada yang satu ini.

Keesokkan harinya, siang-siang, Dito memberiku sampul warna coklat agak besar, secara sembunyi-sembunyi.

"Nih, buat kamu"

"Apa nih ?"

"Simpan aja dulu, lihatnya di rumah, Hati-hati" Aku makin penasaran.
"Lanjutan pelajaranku kemarin. Gambar-gambar asyik" bisiknya.

Sampai di rumah aku berniat langsung masuk kamar untuk memeriksa benda
pemberian Dito. Tante lagi membaca di karpet, kali ini terlentang,
mengenakan daster dengan kancing di tengah membelah badannya dari atas
ke bawah. Kancingnya yang terbawah lepas sebuah yang mengakibatkan
sebagian pahanya tampak, putih. "Suguhan" yang nikmat sebenarnya, tapi
kunikmati hanya sebentar saja, pikiranku sedang tertuju ke sampul
coklat. Dengan tak sabaran kubuka sampul itu, sesudah mengunci pintu
kamar, tentunya. Wow, gambar wanita bule telanjang bulat! Sepertinya ini
lembaran tengah suatu majalah, sebab gambarnya memenuhi dua halaman
penuh. Wanita bule berrambut coklat berbaring terlentang di tempat
tidur. Segera saja aku mengeras. Buah dadanya besar bulat, putingnya
lagi-lagi menonjol ke atas warna coklat muda. Perutnya halus, dan ini
dia, kelaminnya! Sungguh beda jauh dengan apa yang selama ini kuketahui.
Aku tak menemukan "segitiga terbalik" itu. Di bawah perut itu ada
rambut-rambut halus keriting. Ke bawah lagi, lho apa ini ? Sebelah kaki
cewe itu dilipat sehingga lututnya ke atas dan sebelahnya lagi menjuntai
di pinggir ranjang memperlihatkan selangkangannya. Inilah rupanya
lubang itu. Bentuknya begitu "rumit". Ada daging berlipat di kanan
kirinya, ada tonjolan kecil di ujung atasnya, lubangnya di tengah
terbuka sedikit. Mungkin di sinilah tempat masuknya kelamin lelaki.
Tapi, mana cukup ? Oo, seperti inilah rupanya wujud kelamin wanita
dewasa. Tiba-tiba pikiran nakalku kambuh : begini jugakah punya Tante?
Pertanyaan yang jelas-jelas tak mungkin mendapatkan jawaban! Bagaimana
dengan punya Rika, Ani, atau Yuli? Sama susahnya untuk mendapatkan
jawaban. Lupakan saja. Tunggu dulu, barangkali Si Mar pembantu itu bisa
memberikan "jawaban". Orangnya penurut, paling tidak dia selalu patuh
pada perintah majikannya, termasuk aku. Bahkan dulu itu tanpa aku minta
membantuku beres-beres kamarku, dengan senang pula.


Orangnya
lincah dan ramah. Tidak terlalu jelek, tapi bersih. Kalau sudah dandan
sore hari ngobrol dengan pembantu sebelah, orang tak menyangka kalau ia
pembantu. Dulu waktu pertama kali ketemupun aku tak mengira bahwa ia
pembantu. Setiap pagi ia menyapu dan mengepel seluruh lantai, termasuk
lantai kamarku. Kadang-kadang aku sempat memperhatikan pahanya yang
tersingkap sewaktu ngepel, bersih juga. Yang jelas ia periang dan
sedikit genit. Tapi masa kusuruh ia membuka celana dalamnya "Coba Mar
aku pengin lihat punyamu, sama engga dengan yang di majalah" Gila!.
Jangan langsung begitu, pacari saja dulu. Ah, pacaran kok sama pembantu.
Apa salahnya? dari pada tidak pacaran sama sekali. Okey, tapi bagaimana
ya cara memulainya ? Ah, dasar kuper!

Aku jadi lebih memperhatikan Si Mar. Mungkin ia setahun atau dua tahun
lebih tua dariku, sekitar 18 lah. Wajahnya biasa-biasa saja, bersih dan
selalu cerah, kulit agak kuning, dadanya tak begitu besar, tapi sudah
berbentuk. Paha dan kaki bersih. Mulai hari ini aku bertekat untuk mulai
menggoda Si Mar, tapi harus hati-hati, jangan sampai ketahuan oleh
siapapun. Seperti hari-hari lainnya ia membersihkan kamarku ketika aku
sedang sarapan. Pagi ini aku sengaja menunda makan pagiku menunggu Si
Mar. Tante masih ada di kamarnya. Si Mar masuk tapi mau keluar lagi
ketika melihat aku ada di dalam kamar.

"Masuk aja mbak, engga apa-apa" kataku sambil pura-pura sibuk membenahi
buku-buku sekolah. Masuklah dia dan mulai bersih-bersih. Tanganku terus
sibuk berbenah sementara mataku melihatnya terus. Sepasang pahanya
nampak, sudah biasa sih lihat pahanya, tapi kali ini lain. Sebab aku
membayangkan apa yang ada di ujung atas paha itu. Aku mengeras. Sekilas
tampak belahan dadanya waktu ia membungkuk-bungkuk mengikuti irama
ngepel. Tiba-tiba ia melihatku, mungkin merasa aku perhatikan terus.

"Kenapa, Mas" Kaget aku.

"Ah, engga. Apa mbak engga cape tiap hari ngepel"

"Mula-mula sih capek, lama-lama biasa, memang udah kerjaannya" jawabnya cerah.

"Udah berapa lama mbak kerja di sini ?"

"Udah dari kecil saya di sini, udah 5 tahun"

"Betah ?"

"Betah dong, Ibu baik sekali, engga pernah marah. Mas dari mana sih asalnya ?"Tanyanya tiba-tiba. Kujelaskan asal-usulku.

"Oo, engga jauh dong dari desaku. Saya dari Cilacap"

Pekerjaannya selesai. Ketika hendak keluar kamar aku mengucapkan terima kasih.

"Tumben." Katanya sambil tertawa kecil. Ya, tumben biasanya aku tak bilang apa-apa.

***

"Mana, yang kemarin ?" Dito meminta gambar cewe itu.

"Lho, katanya buat aku"

"Jangan dong, itu aku koleksi. Kembaliin dulu entar aku pinjamin yang lain, lebih serem!"

"Besok deh, kubawa"

Sampai di rumah Si Luki sedang main-main di taman sama pengasuhnya.
Sebentar aku ikut bermain dengan anak Oomku itu. Tinah sedikit lebih
putih dibanding Si Mar, tapi jangan dibandingkan dengan Tante, jauh.
Orangnya pendiam, kurang menarik. Dadanya biasa saja, pinggulnya yang
besar. Tapi aku tak menolak seandainya ia mau memperlihatkan miliknya.
Pokoknya milik siapa saja deh, Rika, Ani, Yuli, Mar, atau Tinah asal itu
kelamin wanita dewasa. Penasaran aku pada "barang" yang satu itu.
Apalagi milik Tante, benar-benar suatu karunia kalau aku "berhasil"
melihatnya! Di dalam ada Si Mar yang sedang nonton telenovela buatan
Brazil itu. Aku kurang suka, walaupun pemainnya cantik-cantik. Ceritanya
berbelit. Duduk di karpet sembarangan, lagi-lagi pahanya nampak.
Rasanya si Mar ini makin menarik.

"Mau makan sekarang, Mas ?"

"Entar aja lah"

"Nanti bilang, ya. Biar saya siapin"

"Tante mana mbak?"

"Kan senam" Oh ya, ini hari Rabu, jadwal senamnya. Seminggu Tante senam
tiga kali, Senin, Rabu dan Jumat. Ketika aku selesai ganti pakaian, aku
ke ruang keluarga, maksudku mau mengamati Si Mar lebih jelas. Tapi Si
Mar cepat-cepat ke dapur menyiapkan makan siangku. Biar sajalah, toh
masih banyak kesempatan. Kenapa tidak ke dapur saja pura-pura bantu ?
Akupun ke dapur.

"Masak apa hari ini ?" Aku berbasa-basi.

"Ada ayam panggang, oseng-oseng tahu, sayur lodeh, pilih aja"

"Aku mau semua" Candaku. Dia tertawa renyah. Lumayan buat kata pembukaan.

"Sini aku bantu"

"Ah, engga usah" Tapi ia tak melarang ketika aku membantunya. Ih,
pantatnya menonjol ke belakang walau pinggulnya tak besar. Aku ngaceng.
Kudekati dia. Ingin rasanya meremas pantat itu. Beberapa kali kusengaja
menyentuh badannya, seolah-olah tak sengaja. 'Kan lagi membantu dia.
Dapat juga kesempatan tanganku menyentuh pantatnya, kayaknya sih padat,
aku tak yakin, cuma nyenggol sih. Mar tak berreaksi. Akhirnya aku tak
tahan, kuremas pantatnya. Kaget ia menolehku.

"Iih, Mas To genit, ah" katanya, tapi tidak memprotes.

"Habis, badanmu bagus sih". Sekarang aku yakin, pantatnya memang padat.

"Ah, biasa saja kok"

Akupun berlanjut, kutempelkan badan depanku ke pantatnya. Barangku yang
sudah mengeras terasa menghimpit pantatnya yang padat, walaupun
terlapisi sekian lembar kain. Aku yakin iapun merasakan kerasnya
punyaku. Berlanjut lagi, kedua tanganku kedepan ingin memeluk perutnya.
Tapi ditepisnya tanganku.

"Ih, nakal. Udah ah, makan dulu sana!"

"Iya deh makan dulu, habis makan terus gimana ?"

"Yeee!" sahutnya mencibir tapi tak marah. Tangannya berberes lagi
setelah tadi berhenti sejenak kuganggu. Walaupun penasaran karena aksiku
terpotong, tapi aku mendapat sinyal bahwa Si Mar tak menolak kuganggu.
Hanya tingkat mau-nya sampai seberapa jauh, harus kubuktikan dengan
aksi-aksi selanjutnya!

Kembali aku menunda sarapanku untuk "aksi selanjutnya" yang telah
kukhayalkan tadi malam. Ketika ia sedang menyapu di kamarku, kupeluk ia
dari belakang. Sapunya jatuh, sejenak ia tak berreaksi. Amboi ..dadanya
berisi juga! Jelas aku merasakannya di tanganku, bulat-bulat padat.
Kemudian Si Marpun meronta.

"Ah, Mas, jangan!" protesnya pelan sambil melirik ke pintu. Aku
melepaskannya, khawatir kalau ia berteriak. Sabar dulu, masih banyak
kesempatan.

"Terima kasih" kataku waktu ia melangkah keluar kamar. Ia hanya mencibir
memoncongkan mulutnya lucu. Mukanya tetap cerah, tak marah. Sekarang
aku selangkah lebih maju!

***

Aku ingat janjiku hari ini untuk mengembalikan foto porno milik Dito.
Tapi di mana foto itu ? Jangan-jangan ada yang mengambilnya. Aku yakin
betul kemarin aku selipkan di antara buku Fisika dan Stereometri (kedua
buku itu memang lebar, bisa menutupi). Nah ini dia ada di dalam buku
Gambar. Pasti ada seseorang yang memindahkannya. Logikanya, sebelum
orang itu memindahkan, tentu ia sempat melihatnya. Tiba-tiba aku cemas.
Siapa ya ? Si Mar, Tinah, atau Tante ? Atau lebih buruk lagi, Oom Ton ?
Aku jadi memikirkannya. Siapapun orang rumah yang melihat foto itu,
membuatku malu sekali! Yang penting, aku harus kembalikan ke Dito
sekarang.

Siangnya pulang sekolah ketika aku masuk ke ruang keluarga, Si Mar
sedang memijit punggung Tante. Tante tengkurap di karpet, Si Mar menaiki
pantat Tante. Punggung Tante itu terbuka 100 %, tak ada tali kutang di
sana. Putihnya mak..! Si Mar cepat-cepat menutup punggung itu ketika
tahu mataku menjelajah ke sana, sambil melihatku dengan senyum penuh
arti. Sialan! Si Mar tahu persis kenakalanku. Aku masuk kamar. Hilang
kesempatan menikmati punggung putih itu. Tadi pagi aku lupa membawa buku
Gambar gara-gara mengurus foto si Dito. Aku berniat mempersiapkan dari
sekarang sambil berusaha melupakan punggung putih itu. Sesuatu jatuh
bertebaran ke lantai ketika aku mengambil buku Gambar. Seketika dadaku
berdebar kencang setelah tahu apa yang jatuh tadi. Lepasan dari majalah
asing. Di tiap pojok bawahnya tertulis "Hustler" edisi tahun lalu. Satu
serial foto sepasang bule yang sedang berhubungan kelamin! Ada tiga
gambar, gambar pertama Si Cewe terlentang di ranjang membuka kakinya
sementara Si Cowo berdiri di atas lututnya memegang alatnya yang tegang
besar (mirip punyaku kalau lagi tegang cuma beda warna, punyaku gelap)
menempelkan kepala penisnya ke kelamin Cewenya. Menurutku, dia
menempelnya kok agak ke bawah, di bawah "segitiga terbalik" yang penuh
ditumbuhi rambut halus pirang.

Gambar kedua, posisi Si Cewe masih sama hanya kedua tangannya memegang
bahu si Cowo yang kini condong ke depan. Nampak jelas separoh batangnya
kini terbenam di selangkangan Si Cewe. Lho, kok di situ masuknya ?
Kuperhatikan lebih saksama. Kayaknya dia "masuk" dengan benar, karena di
samping jalan masuk tadi ada "yang berlipat-lipat", persis gambar milik
Dito kemarin. Menurut bayanganku selama ini, "seharusnya" masuknya
penis agak lebih ke atas. Baru tahu aku, khayalanku selama ini ternyata
salah! Gambar ketiga, kedua kaki Si Cewe diangkat mengikat punggung Si
Cowo. Badan mereka lengket berimpit dan tentu saja alat Si Cowo sudah
seluruhnya tenggelam di "tempat yang layak" kecuali sepasang "telornya"
saja menunggu di luar. Mulut lelaki itu menggigit leher wanitanya,
sementara telapak tangannya menekan buah dada, ibujari dan telunjuk
menjepit putting susunya. Gemetaran aku mengamati gambar-gambar ini
bergantian. Tanpa sadar aku membuka resleting celanaku mengeluarkan
milikku yang dari tadi telah tegang. Kubayangkan punyaku ini separoh
tenggelam di tempat si Mar persis gambar kedua. Kenyataanya memang
sekarang sudah separoh terbenam, tapi di dalam tangan kiriku. Akupun
meniru gambar ketiga, tenggelam seluruhnya, gambar kedua, setengah,
ketiga, seluruhnya..geli-geli nikmat… terus kugosok… makin geli.. gosok
lagi.. semakin geli… dan.. aku terbang di awan.. aku melepas sesuatu…
hah.. cairan itu menyebar ke sprei bahkan sampai bantal, putih, kental,
lengket-lengket. Enak, sedap seperti waktu mimpi basah. Sadar aku
sekarang ada di kasur lagi, beberapa detik yang lalu aku masih
melayang-layang.


He! Kenapa aku ini?
Apa yang kulakukan ? Aku panik. Berbenah. Lap sini lap sana. Kacau!
Kurapikan lagi celanaku, sementara si Dia masih tegang dan berdenyut,
masih ada yang menetes. Aku menyesal, ada rasa bersalah, rasa berdosa
atas apa yang baru saja kulakukan. Aku tercenung. Gambar-gambar sialan
itu yang menyebabkan aku begini. Masturbasi. Istilah aneh itu baru aku
ketahui dari temanku beberapa hari sesudahnya. Si Dito menyebutnya
'ngeloco'. Aneh. Ada sesuatu yang lain kurasakan, keteganganku lenyap.
Pikiran jadi cerah meski badan agak lemas..

***

Sehari itu aku jadi tak bersemangat, ingat perbuatanku siang tadi.
Rasanya aku telah berbuat dosa. Aku menyalahkan diriku sendiri. Bukan
salahku seluruhnya, aku coba membela diri. Gambar-gambar itu juga punya
dosa. Tepatnya, pemilik gambar itu. Eh, siapa yang punya ya ? Tahu-tahu
ada di balik buku-bukuku. Siapa yang menaruh di situ ? Ah, peduli amat.
Akan kumusnahkan. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi, tidak akan
masturbasi lagi. Perasaan seperti ini masih terbawa sampai keesokkan
harinya lagi. Sehingga kulewatkan kesempatan untuk meraba dada Mar
seperti kemarin. Ia telah memberi lampu hijau untuk aku "tindaklanjuti".
Tapi aku lagi tak bersemangat. Masih ada rasa bersalah.

Hari berikutnya aku "harus" tegang lagi. Bukan karena Si Mar yang
(menurutku) bersedia dijamah tubuhnya. Tapi lagi-lagi karena Si Putih
molek itu, Tante Yani. Siang itu aku pulang agak awal, pelajaran
terakhir bebas. Sebentar aku melayani Luki melempar-lempar bola di
halaman, lalu masuk lewat garasi, seperti biasa. Hampir pingsan aku
ketika membuka pintu menuju ruang keluarga. Tante berbaring terlentang,
mukanya tertutupi majalah "Femina", terdengar dengkur sangat halus dan
teratur. Rupanya ketiduran sehabis membaca. Mengenakan baju-mandi
seperti dulu tapi ini warna pink muda, rambut masih terbebat handuk.
Agaknya habis keramas, membaca terus ketiduran. Model baju mandinya
seperti yang warna putih itu, belah di depan dan hanya satu pengikat di
pinggang. Jelas ia tak memakai kutang, kelihatan dari bentuk buah
dadanya yang menjulang dan bulat, serta belahan dadanya seluruhnya
terlihat sampai ke bulatan bawah buah itu. Sepasang buah bulat itu
naik-turun mengikuti irama dengkurannya. Berikut inilah yang membuatku
hampir pingsan. Kaki kirinya tertekuk, lututnya ke atas, sehingga
belahan bawah baju-mandi itu terbuang ke samping, memberiku "pelajaran"
baru tentang tubuh wanita, khususnya milik Tante. Tak ada celana dalam
di sana.

Tanteku ternyata punya bulu lebat. Tumbuh menyelimuti hampir seluruh
"segitiga terbalik". Berwarna hitam legam, halus dan mengkilat, tebal di
tengah menipis di pinggir-pinggirnya. "Arah" tumbuhnya seolah diatur,
dari tengah ke arah pinggir sedikit ke bawah kanan dan kiri.

Berbeda dengan yang di gambar, rambut Tante yang di sini lurus, tak
keriting. Wow, sungguh "karya seni" yang indah sekali! Kelaminku tegang
luar biasa. Aku lihat sekeliling. Si Tinah sedang bermain dengan anak
asuhnya di halaman depan. Si Mar di belakang, mungkin sedang menyetrika.
Kalau Tante sedang di ruang ini, biasanya Si Mar tidak kesini, kecuali
kalau diminta Tante memijit. Aman!

Dengan wajah tertutup majalah aku jadi bebas meneliti kewanitaan Tante,
kecuali kalau ia tiba-tiba terbangun. Tapi aku 'kan waspada. Hampir tak
bersuara kudekati milik Tante. Kini giliran bagian bawah rambut indah
itu yang kecermati. Ada "daging berlipat", ada benjolan kecil warna
pink, tampaknya lebih menonjol dibanding milik bule itu. Dan di bawah
benjolan itu ada "pintu". Pintu itu demikian kecil, cukupkah punyaku
masuk ke dalamnya ? Punyaku ? Enak saja! Memangnya lubang itu milikmu ?
Bisa saja sekarang aku melepas celanaku, mengarahkan ujungnya ke situ,
persis gambar pertama, mendorong, seperti gambar kedua, dan …Tiba-tiba
Tante menggerakkan tangannya. Terbang semangatku. Kalau ada cermin di
situ pasti aku bisa melihat wajahku yang pucat pasi. Dengkuran halus
terdengar kembali. Untung., nyenyak benar tidurnya. Bagian atas
baju-mandinya menjadi lebih terbuka karena gerakan tangannya tadi. Meski
perasaanku tak karuan, tegang, berdebar, nafas sesak, tapi pikiranku
masih waras untuk tidak membuka resleting celanaku. Bisa berantakan masa
depanku. Aku "mencatat" beberapa perbedaan antara milik Tante dengan
milik bule yang di majalah itu. Rambut, milik Tante hitam lurus, milik
bule coklat keriting. Benjolan kecil, milik Tante lebih "panjang", warna
sama-sama pink. Pintu, milik Tante lebih kecil. Lengkaplah sudah aku
mempelajari tubuh wanita. Utuhlah sudah aku mengamati seluruh tubuh
Tante. Seluruhnya ? Ternyata tidak, yang belum pernah aku lihat sama
sekali : puting susunya. Kenapa tidak sekarang ? Kesempatan terbuka di
depan mata, lho! Mataku beralih ke atas, ke bukit yang bergerak
naik-turun teratur. Dada kanannya makin lebar terbuka, ada garis tipis
warna coklat muda di ujung kain. Itu adalah lingkaran kecil di tengah
buah, hanya pinggirnya saja yang tampak. Aku merendahkan kepalaku
mengintip, tetap saja putingnya tak kelihatan. Ya, hanya dengan sedikit
menggeser tepi baju mandi itu ke samping, lengkaplah sudah "kurikulum"
pelajaran anatomi tubuh Tante. Dengan amat sangat hati-hati tanganku
menjangkau tepi kain itu. Mendadak aku ragu. Kalau Tante terbangun
bagaimana ? Kuurungkan niatku.


Tapi
pelajaran tak selesai dong! Ayo, jangan bimbang, toh dia sedang tidur
nyenyak. Ya, dengkurannya yang teratur menandakan ia tidur nyenyak.
Kembali kuangkat tanganku. Kuusahakan jangan sampai kulitnya tersentuh.
Kuangkat pelan tepi kain itu, dan sedikit demi sedikit kugeser ke
samping. Macet, ada yang nyangkut rupanya. Angkat sedikit lagi, geser
lagi. Kutunggu reaksinya. Masih mendengkur. Aman. Terbukalah sudah..
Puting itu berwarna merah jambu bersih. Berdiri tegak menjulang, bak
mercusuar mini. Amboi . indahnya buah dada ini. Tak tahan aku ingin
meremasnya. Jangan, bahaya. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Bukan
saja khawatir Tante terbangun, tapi takut aku tak mampu menahan diri,
menubruk tubuh indah tergolek hampir telanjang bulat ini.

***

Aku jadi tak tenang. Berulang kali terbayang rambut-rambut halus kelamin
dan puting merah jambu milik Tante itu. Apalagi menjelang tidur. Tanpa
sadar aku mengusap-usap milikku yang tegang terus ini. Tapi aku segera
ingat janjiku untuk tidak masturbasi lagi. Mendingan praktek langsung.
Tapi dengan siapa ?

Hari ini aku pulang cepat. Masih ada dua mata pelajaran sebetulnya, aku
membolos, sekali-kali. Toh banyak juga kawanku yang begitu. Percuma di
kelas aku tak bisa berkonsentrasi. Di garasi aku ketemu Tante yang
siap-siap mau pergi senam. Dibalut baju senam yang ketat ini Tante jadi
istimewa. Tubuhnya memang luar biasa. Dadanya membusung tegak ke depan,
bagian pinggang menyempit ramping, ke bawah lagi melebar dengan pantat
menonjol bulat ke belakang, ke bawah menyempit lagi. Sepasang paha yang
nyaris bulat seperti batang pohon pinang, sepasang kaki yang panjang
ramping. Walaupun tertutup rapat aku ngaceng juga. Lagi-lagi aku
terrangsang. Diam-diam aku bangga, sebab di balik pakaian senam itu aku
pernah melihatnya, hampir seluruhnya! Justru bagian tubuh yang
penting-penting sudah seluruhnya kulihat tanpa ia tahu! Salah sendiri,
teledor sih. Ah, salahku juga, buktinya kemarin aku menyingkap
putingnya.

"Lho, kok udah pulang, To" sapanya ramah. Ah bibir itu juga menggoda.

"Iya Tante, ada pelajaran bebas" jawabku berbohong. Kubukakan pintu
mobilnya. Sekilas terlihat belahan dadanya ketika ia memasuki mobil.
Uih, dadanya serasa mau "meledak" karena ketatnya baju itu.

"Terima kasih" katanya. "Tante pergi dulu ya". Mobilnya hilang dari pandanganku. -

Jakarta!
Ya, akhirnya jadi juga aku ke Jakarta. Kota impian semua orang, paling
tidak bagi orang sedesaku di Gumelar, Kabupaten Banyumas, 23 Km ke arah
utara Purwokerto, Jawa Tengah. Aku memang orang desa. Badanku tidak
menggambarkan usiaku yang baru menginjak 16 tahun, bongsor berotot
dengan kulit sawo gelap. Baru saja aku menamatkan ST (Sekolah Teknik)
Negeri Baturaden, sekitar 5 Km dari Desa Gumelar, atau 17 Km utara
Purwokerto. Kegiatanku sehari-hari selama ini kalau tidak sekolah,
membantu Bapak dan Emak berkebun. Itulah sebabnya badanku jadi kekar dan
kulit gelap. Kebunku memang tak begitu luas, tapi cukup untuk menopang
kehidupan keluarga kami sehari-hari yang hanya 5 orang. Aku punya 2
orang adik laki-laki semua, 12 dan 10 tahun.

Boleh dikatakan aku ini orangnya ?kuper?. Anak dari desa kecil yang
terdiri dari hanya belasan rumah yang terletak di kaki Gunung Slamet.
Jarak antar rumahpun berjauhan karena diselingi kebun-kebun, aku jadi
jarang bertemu orang. Situasi semacam ini mempengaruhi kehidupanku
kelak. Rendah diri, pendiam dan tak pandai bergaul, apalagi dengan
wanita. Pengetahuanku tentang wanita hampir dapat dikatakan nol, karena
lingkungan bergaulku hanya seputar rumah, kebun, dan sekolah teknik yang
muridnya 100% lelaki.

Pembaca yang budiman, kisah yang akan Anda baca ini adalah pengalaman
nyata kehidupanku sekitar 9 sampai 6 tahun lalu. Pengalaman nyata ini
aku ceritakan semuanya kepada Mas Joko, kakak kelasku, satu-satunya
orang yang aku percayai yang hobinya memang menulis. Dia sering menulis
untuk majalah dinding, buletin sekolah, koran dan majalah lokal yang
hanya beredar di seputar Purwokerto. Mas Joko kemudian meminta izinku
untuk menulis kisah hidupku ini yang katanya unik dan katanya akan
dipasang di internet. Aku memberinya izin asalkan nama asliku tidak
disebutkan. Jadi panggil saja aku Tarto, nama samaran tentu saja.

Aku ke Jakarta atas seizin orang tuaku, bahkan merekalah yang
mendorongnya. Pada mulanya aku sebenarnya enggan meninggalkan
keluargaku, tapi ayahku menginginkan aku untuk melanjutkan sekolah ke
STM. Aku lebih suka kerja saja di Purwokerto. Aku menerima usulan ayahku
asalkan sekolah di SMA (sekarang SMU) dan tidak di kampung. Dia memberi
alamat adik misannya yang telah sukses dan tinggal di bilangan Tebet,
Jakarta. Ayahku sangat jarang berhubungan dengan adik misannya itu.
Paling hanya beberapa kali melalui surat, karena telepon belum masuk ke
desaku. Kabar terakhir yang aku dengar dari ayahku, adik misannya itu,
sebut saja Oom Ton, punya usaha sendiri dan sukses, sudah berkeluarga
dengan satu anak lelaki umur 4 tahun dan berkecukupan. Rumahnya lumayan
besar. Jadi, dengan berbekal alamat, dua pasang pakaian, dan uang
sekedarnya, aku berangkat ke Jakarta. Satu-satunya petunjuk yang aku
punyai: naik KA pagi dari Purwokerto dan turun di stasiun Manggarai.
Tebet tak jauh dari stasiun ini.

Stasiun Manggarai, pukul 15.20 siang aku dicekam kebingungan. Begitu
banyak manusia dan kendaraan berlalu lalang, sangat jauh berbeda dengan
suasana desaku yang sepi dan hening. Singkat cerita, setelah ?berjuang?
hampir 3 jam, tanya ke sana kemari, dua kali naik mikrolet (sekali salah
naik), sekali naik ojek yang mahalnya bukan main, sampailah aku pada
sebuah rumah besar dengan taman yang asri yang cocok dengan alamat yang
kubawa.

Berdebar-debar aku masuki pintu pagar yang sedikit terbuka, ketok pintu
dan menunggu. Seorang wanita muda, berkulit bersih, dan .. ya ampun,
menurutku cantik sekali (mungkin di desaku tidak ada wanita cantik),
berdiri di depanku memandang dengan sedikit curiga. Setelah aku jelaskan
asal-usulku, wajahnya berubah cerah. ?Tarto, ya ? Ayo masuk, masuk.
Kenalkan, saya Tantemu.? Dengan gugup aku menyambut tangannya yang
terjulur. Tangan itu halus sekali. ?Tadinya Oom Ton mau jemput ke
Manggarai, tapi ada acara mendadak. Tante engga sangka kamu sudah
sebesar ini. Naik apa tadi, nyasar, ya ?? Cecarnya dengan ramah. ?Maaar,
bikin minuman!? teriaknya kemudian. Tak berapa lama datang seorang
wanita muda meletakkan minuman ke meja dengan penuh hormat. Wanita ini
ternyata pembantu, aku kira keponakan atau anggota keluarga lainnya,
sebab terlalu ?trendy? gaya pakaiannya untuk seorang pembantu.

Sungguh aku tak menduga sambutan yang begitu ramah. Menurut cerita yang
aku dengar, orang Jakarta terkenal individualis, tidak ramah dengan
orang asing, antar tetangga tak saling kenal. Tapi wanita tadi, isteri
Oomku, Tante Yani namanya (?Panggil saja Tante,? katanya akrab) ramah,
cantik lagi. Tentu karena aku sudah dikenalkannya oleh Oom Ton.

Aku diberi kamar sendiri, walaupun agak di belakang tapi masih di rumah
utama, dekat dengan ruang keluarga. Kamarku ada AC-nya, memang seluruh
ruang yang ada di rumah utama ber-AC. Ini suatu kemewahan bagiku.
Dipanku ada kasur yang empuk dan selimut tebal. Walaupun AC-nya cukup
dingin, rasanya aku tak memerlukan selimut tebal itu. Mungkin aku cukup
menggunakan sprei putih tipis yang di lemari itu untuk selimut. Rumah di
desaku cukup dingin karena letaknya di kaki gunung, aku tak pernah
pakai selimut, tidur di dipan kayu hanya beralas tikar. Aku diberi
?kewenangan? untuk mengatur kamarku sendiri.

Aku masih merasa canggung berada di rumah mewah ini. Petang itu aku tak
tahu apa yang musti kukerjakan. Selesai beres-beres kamar, aku hanya
bengong saja di kamar. ?Too, sini, jangan ngumpet aja di kamar,? Tante
memanggilku. Aku ke ruang keluarga. Tante sedang duduk di sofa nonton
TV. ?Sudah lapar, To ?? ?Belum Tante.? Sore tadi aku makan kue-kue yang
disediakan Si Mar. ?Kita nunggu Oom Ton ya, nanti kita makan malam
bersama-sama.? Oom Ton pulang kantor sekitar jam 19 lewat. ?Selamat
malam, Oom,? sapaku. ?Eh, Ini Tarto ? Udah gede kamu.? ?Iya Oom.?
?Gimana kabarnya Mas Kardi dan Yu Siti,? Oom menanyakan ayah dan ibuku.
?Baik-baik saja Oom.? Di meja makan Oom banyak bercerita tentang rencana
sekolahku di Jakarta. Aku akan didaftarkan ke SMA Negeri yang dekat
rumah. Aku juga diminta untuk menjaga rumah sebab Oom kadang-kadang
harus ke Bandung atau Surabaya mengurusi bisnisnya. ?Iya, saya
kadang-kadang takut juga engga ada laki-laki di rumah,? timpal Tante.
?Berapa umurmu sekarang, To ?? ?Dua bulan lagi saya 16 tahun, Oom.?
?Badanmu engga sesuai umurmu.?

***

Hari-hari baruku dimulai. Aku diterima di SMA Negeri 26 Tebet, tak jauh
dari rumah Oom dan Tanteku. Ke sekolah cukup berjalan kaki. Aku memang
belum sepenuhnya dapat melepas kecanggunganku. Bayangkan, orang udik
yang kuper tamatan ST (setingkat SLTP) sekarang sekolah di SMA
metropolitan. Kawan sekolah yang biasanya lelaki melulu, kini banyak
teman wanita, dan beberapa diantaranya cantik-cantik. Cantik ? Ya, sejak
aku di Jakarta ini jadi tahu mana wanita yang dianggap cantik, tentunya
menurut ukuranku. Dan tanteku, Tante Yani, isteri Oom Ton menurutku
paling cantik, dibandingkan dengan kawan-kawan sekolahku, dibanding
dengan tante sebelah kiri rumah, atau gadis (mahasiswi ?) tiga rumah ke
kanan. Cepat-cepat kuusir bayangan wajah tanteku yang tiba-tiba muncul.
Tak baik membayangkan wajah tante sendiri. Pada umumnya teman-teman
sekolahku baik, walaupun kadang-kadang mereka memanggilku ?Jawa?, atau
meledek cara bicaraku yang mereka sebut ?medok?. Tak apalah, tapi saya
minta mereka panggil saja Tarto. Alasanku, kalau memanggil ?Jawa?, toh
orang Jawa di sekolah itu bukan hanya aku. Mereka akhirnya mau menerima
usulanku. Terus terang aku di kelas menjadi cepat populer, bukan karena
aku pandai bergaul. Dibandingkan teman satu kelas tubuhku paling tinggi
dan paling besar. Bukan sombong, aku juga termasuk murid yang pintar.
Aku memang serius kalau belajar, kegemaranku membaca menunjang
pengetahuanku.

Kegemaranku membaca inilah yang mendorongku bongkar-bongkar isi rak buku
di kamarku di suatu siang pulang sekolah. Rak buku ini milik Oom Ton.
Nah, di antara tumpukan buku, aku menemukan selembar majalah bergambar,
namanya Popular.

Rupanya penemuan majalah inilah merupakan titik awalku belajar mandiri
tentang wanita. Tidak sendiri sebetulnya, sebab ada ?guru? yang
diam-diam membimbingku. Kelak di kemudian hari aku baru tahu tentang
?guru? itu.

Majalah itu banyak memuat gambar-gambar wanita yang bagus, maksudnya
bagus kualitas fotonya dan modelnya. Dengan berdebar-debar satu-persatu
kutelusuri halaman demi halaman. Ini memang majalah hiburan khusus pria.
Semua model yang nampang di majalah itu pakaiannya terbuka dan seronok.
Ada yang pakai rok demikian pendeknya sehingga hampir seluruh pahanya
terlihat, dan mulus. Ada yang pakai blus rendah dan membungkuk
memperlihatkan bagian belahan buah dada. Dan, ini yang membuat jantungku
keras berdegup : memakai T-shirt yang basah karena disiram, sementara
dalamnya tidak ada apa-apa lagi. Samar-samar bentuk sepasang buah kembar
kelihatan. Oh, begini tho bentuk tubuh wanita. Dasarnya aku sangat
jarang ketemu wanita. Kalau ketemu-pun wanita desa atau embok-embok, dan
yang aku lihat hanya bagian wajah. Bagaimana aku tidak deg-deg-an baru
pertama kali melihat gambar tubuh wanita, walaupun hanya gambar paha dan
sebagian atas dada.

Sejak ketemu majalah Popular itu aku jadi lain jika memandang wanita
teman kelasku. Tidak hanya wajahnya yang kulihat, tapi kaki, paha dan
dadanya ?kuteliti?. Si Rika yang selama ini aku nilai wajahnya lumayan
dan putih, kalau ia duduk menyilangkan kakinya ternyata memiliki paha
mulus agak mirip foto di majalah itu. Memang hanya sebagian paha bawah
saja yang kelihatan, tapi cukup membuatku tegang. Ya tegang. ?Adikku?
jadi keras! Sebetulnya penisku menjadi tegang itu sudah biasa setiap
pagi. Tapi ini tegang karena melihat paha mulus Rika adalah pengalaman
baru bagiku. Sayangnya dada Rika tipis-tipis saja. Yang dadanya besar si
Ani, demikian menonjol ke depan. Memang ia sedikit agak gemuk. Aku
sering mencuri pandang ke belahan kemejanya. Dari samping terkadang
terbuka sedikit memperlihatkan bagian dadanya di sebelah kutang. Walau
terlihat sedikit cukup membuatku ?ngaceng?. Sayangnya, kaki Ani tak
begitu bagus, agak besar. Aku lalu membayangkan bagaimana bentuk dada
Ani seutuhnya, ah ngaceng lagi! Atau si Yuli. Badannya biasa-biasa saja,
paha dan kaki lumayan berbentuk, dadanya menonjol wajar, tapi aku
senang melihat wajahnya yang manis, apalagi senyumnya. Satu lagi, kalau
ia bercerita, tangannya ikut ?sibuk?. Maksudku kadang mencubit, menepuk,
memukul, dan, ini dia, semua roknya berpotongan agak pendek. Ah, aku
sekarang punya ?wawasan? lain kalau memandang teman-teman cewe.

Ah! Tante Yani! Ya, kenapa selama ini aku belum ?melihat dengan cara
lain?? Mungkin karena ia isteri Oomku, orang yang aku hormati, yang
membiayai hidupku, sekolahku. Mana berani aku ?menggodanya? meskipun
hanya dari cara memandang. Sampai detik ini aku melihat Tante Yani
sebagai : wajahnya putih bersih dan cantik. Tapi dasar setan selalu
menggoda manusia, bagaimana tubuhnya ? Ah, aku jadi pengin cepat-cepat
pulang sekolah untuk ?meneliti? Tanteku. Jangan ah, aku menghormati
Tanteku.

Aduh! Kenapa begini ? Apanya yang begini ? Tante Yani! Seperti biasa,
kalau pulang aku masuk dari pintu pagar langsung ke garasi, lalu masuk
dari pintu samping rumah ke ruang keluarga di tengah-tengah rumah.
Melewati ruang keluarga, sedikit ke belakang sampai ke kamarku. Isi
ruang keluarga ini dapat kugambarkan : di tengahnya terhampar karpet
tebal yang empuk yang biasa digunakan tante untuk membaca sambil
rebahan, atau sedang dipijit Si Mar kalau habis senam. Agak di belakang
ada satu set sofa dan pesawat TV di seberangnya. Sewaktu melewati ruang
keluarga, aku menjumpai Tante Yani duduk di kursi dekat TV menyilang
kaki sedang menyulam, berpakaian model kimono. Duduknya persis si Rika
tadi pagi, cuma kaki Tante jauh lebih indah dari Rika. Putih, bersih,
panjang, di betis bawahnya dihiasi bulu-bulu halus ke atas sampai paha.
Ya, paha, dengan cara duduk menyilang, tanpa disadari Tante belahan
kimononya tersingkap hingga ke bagian paha agak atas. Tanpa sengaja pula
aku jadi tahu bahwa tante memiliki paha selain putih bersih juga
berbulu lembut. Sejenak aku terpana, dan lagi-lagi tegang. Untung aku
cepat sadar dan untung lagi Tante begitu asyik menyulam sehingga tidak
melihat ulah keponakannya yang dengan kurang ajar ?memeriksa? pahanya.
Ah, kacau.

Sebenarnya tidak sekali ini aku melihat Tante memakai kimono. Kenapa aku
tadi terangsang mungkin karena ?penghayatan? yang lain, gara-gara
majalah itu. Selesai makan ada dorongan aku ingin ke ruang tengah,
meneruskan ?penelitianku? tadi. Aku ada alasan lain tentu saja, nonton
TV swasta, hal baru bagiku. Mungkin aku mulai kurang ajar : mengambil
posisi duduk di sofa nonton TV tepat di depan Tante, searah-pandang
kalau mengamati pahanya! ?Gimana sekolahmu tadi To ?? tanya Tante
tiba-tiba yang sempat membuatku kaget sebab sedang memperhatikan
bulu-bulu kakinya. ?Biasa-biasa saja Tante.? ?Biasa gimana ? Ada
kesulitan engga ?? ?Engga Tante.? ?Udah banyak dapat kawan ?? ?Banyak,
kawan sekelas.? ?Kalau kamu pengin main lihat-lihat kota, silakan aja.?
?Terima kasih, Tante. Saya belum hafal angkutannya.? ?Harus dicoba, yah
nyasar-nyasar dikit engga apa-apa, toh kamu tahu jalan pulang.? ?Iya
Tante, mungkin hari Minggu saya akan coba.? ?Kalau perlu apa-apa, uang
jajan misalnya atau perlu beli apa, ngomong aja sama Tante, engga usah
malu-malu.? Gimana kurang baiknya Tanteku ini, keponakannya saja yang
nakal. Nakal ? Ah ?kan cuma dalam pikiran saja, lagi pula hanya
?meneliti? kaki yang tanpa sengaja terlihat, apa salahnya. ?Terima kasih
Tante, uang yang kemarin masih ada kok.? ?Emang kamu engga jajan di
sekolah ?? Berdesir darahku. Sambil mengucapkan ?jajan? tadi Tante
mengubah posisi kakinya sehingga sekejap, tak sampai sedetik, sempat
terlihat warna merah jambu celana dalamnya! Aku berusaha keras
menenangkan diri. ?Jajan juga sih, hanya minuman dan makanan kecil.?
Akupun ikut-ikutan mengubah posisi, ada sesuatu yang mengganjal di dalam
celanaku. Untung Tante tidak memperhatikan perubahan wajahku. Sepanjang
siang ini aku bukannya nonton TV. Mataku lebih sering ke arah Tante,
terutama bagian bawahnya!

Hari-hari berikutnya tak ada kejadian istimewa. Rutin saja, sekolah,
makan siang, nonton TV, sesekali melirik kaki Tante. Oom Ton pulang
kantor selalu malam hari. Saat ketemu Oomku hanya pada makan malam,
bertiga. Si Luki, anak lelakinya 4 tahun biasanya sudah tidur. Kalau
Luki sudah tidur, Tinah, pengasuhnya pamitan pulang. Pada acara makan
malam ini, sebetulnya aku punya kesempatan untuk menikmati? (cuma dengan
mata) paha mulus berbulu Tante, sebab malam ini ia memakai rok pendek,
biasanya memakai daster. Tapi mana berani aku menatap pemandangan indah
ini di depan Oom. Betapa bahagianya mereka menurut pandanganku. Oom
tamat sekolahnya, punya usaha sendiri yang sukses, punya isteri yang
cantik, putih, mulus. Anak hanya satu. Punya sopir, seorang pembantu, Si
Mar dan seorang baby sitter Si Tinah. Sopir dan baby sitter tidak
menginap, hanya pembantu yang punya kamar di belakang. Praktis Tante
Yani banyak waktu luang. Anak ada yang mengasuh, pekerjaan rumah tangga
beres ditangan pembantu. Oh ya, ada seorang lagi, pengurus taman biasa
di panggil Mang Karna, sudah agak tua yang datang sewaktu-waktu, tidak
tiap hari.

Keesokkan harinya ada kejadian ?penting? yang perlu kuceritakan.
Pagi-pagi ketika aku sedang menyusun buku-buku yang akan kubawa ke
sekolah, ada beberapa lembar halaman yang mungkin lepasan atau sobekan
dari majalah luar negeri terselip di antara buku-buku pelajaranku. Aku
belum sempat mengamati lembaran itu, karena buru-buru mau berangkat
takut telat. Di sekolah pikiranku sempat terganggu ingat sobekan majalah
berbahasa Inggris itu, milik siapa ? Tadi pagi sekilas kulihat ada
gambarnya wanita hanya memakai celana jean tak berbaju. Inilah yang
mengganggu pikiranku. Sempat kubayangkan, bagaimana kalau Ani hanya
memakai jean. Kaki dan pahanya yang kurang bagus tertutup, sementara
bulatan dadanya yang besar terlihat jelas. Ah.. nakal kamu To!

Pulang sekolah tidak seperti biasa aku tidak langsung ke meja makan,
tapi ngumpet di kamarku. Pintu kamar kukunci dan mulai mengamati sobekan
majalah itu. Ada 4 lembar, kebanyakan tulisan yang tentu saja tidak
kubaca. Aku belum paham Bahasa Inggris. Di setiap pojok bawah lembaran
itu tertulis: Penthouse. Langsung saja ke gambar.

Gemetaran
aku dibuatnya. Wanita bule, berpose membusungkan dadanya yang besar,
putih, mulus, dan terbuka seluruhnya! Paha dan kakinya meskipun tertutup
jean ketat, tapi punya bentuk yang indah, panjang, persis kaki milik
Tante. Hah, kenapa aku jadi membandingkan dengan tubuh Tante ? Peduli
amat, tapi itulah yang terbayang. Kenapa aku sebut kejadian penting,
karena baru sekaranglah aku tahu bentuk utuh sepasang buah dada,
meskipun hanya dari foto. Bulat, di tengah ada bulatan kecil warna
coklat, dan di tengah-tengah bulatan ada ujungnya yang menonjol keluar.
Segera saja tubuhku berreaksi, penisku tegang, dada berdebar-debar.
Halaman berikutnya membuatku lemas, mungkin belum makan. Masih wanita
bule yang tadi tapi sekarang di close-up. Buah dadanya makin jelas,
sampai ke pori-porinya. Ini kesempatanku untuk ?mempelajari? anatomi
buah kembar itu. Dari atas kulit itu bergerak naik, sampai puting yang
merupakan puncaknya, kemudian turun lagi ?membulat?. Ya, beginilah
bentuk buah dada wanita. Putingnya, apakah selalu menonjol keluar
seperti menunjuk ke depan ? Jawabannya baru tahu kelak kemudian hari
ketika aku ?praktek?. Tiba-tiba terlintas pikiran nakal, Tante Yani!
Bagaimana ya bentuk buah dada Tanteku itu ? Ah, kenapa selama ini aku
tak memperhatikannya. Asyik lihat ke bawah terus sih! Memang
kesempatannya baru lihat paha. Kimono Tante waktu itu, kalau tak salah,
tertutup sampai dibawah lehernya. Tapi ?kan bisa lihat bentuk luarnya.
Ah, memang mataku tak sampai kesitu. Melihat bentuk paha dan kaki cewe
bule ini mirip milik Tante, aku rasa bentuk dadanyapun tak jauh berbeda,
begitu aku mencoba memperkirakan. Begitu banyak aku berdialog dengan
diri sendiri tentang buah dada. Begitu banyak pertanyaan yang bermuara
pada pertanyaan inti : Bagaimana bentuk buah dada Tanteku yang cantik
itu ? Untungnya, atau celakanya, pertanyaanku itu segera mendapat
jawaban, di meja makan. Di pertengahan makan siangku, Tante muncul
istimewa. Mengenakan baju-mandi, baju mirip kimono tapi pendek dari
bahan seperti handuk tapi lebih tipis warna putih dan ada pengikat di
pinggangnya. Tante kelihatan lain siang itu, segar, cerah. Kelihatannya
baru selesai mandi dan keramas, sebab rambutnya diikat handuk ke atas
mirip ikat kepala para syeh. ?Oh, kamu sudah pulang, engga kedengaran
masuknya,? sapanya ramah sambil berjalan menuju ke tempatku. ?Dari tadi
Tante,? jawabku singkat. Ia berhenti, berdiri tak jauh dari dudukku.
Kedua tangannya ke atas membenahi handuk di rambutnya. Posisi tubuh
Tante yang beginilah memberi jawaban atas pertanyaanku tadi. Luar biasa!
Besar juga buah dada Tante ini, persis seperti perkiraanku tadi,
bentuknya mirip punya cewe bule di Penthouse tadi.

Meskipun aku melihatnya masih ?terbungkus? baju-mandi, tapi jelas
alurnya, bulat menonjol ke depan. Di bagian kanan baju mandinya rupanya
ada yang basah, ini makin mempertegas bentuk buah indah itu. Samar-samar
aku bisa melihat lingkaran kecil di tengahnya. Sehabis mandi mungkin
hanya baju-mandi itu saja yang membungkus tubuhnya sekarang. Bawahnya
aku tak tahu. Bawahnya! Ya, aku melupakan pahanya. Segera saja mataku
turun. Kini lebih jelas, bulu-bulu lembut di pahanya seperti diatur,
berbaris rapi. Ah aku sekarang lagi tergila-gila buah dada. Pandanganku
ke atas lagi. Mudah-mudahan ia tak melihatku melahap (dengan mata)
tubuhnya. Memang ia tidak memperhatikanku, pandangannya ke arah lain
masih terus asyik merapikan rambutnya. Tapi aku tak bisa berlama-lama
begini, disamping takut ketahuan, lagipula aku ?kan sedang makan.
Kuteruskan makanku. Bagaimana reaksi tubuhku, susah diceritakan. Yang
jelas kelaminku tegang luar biasa. Tiba-tiba ia menarik kursi makan di
sebelahku dan duduk. Ah, wangi tubuhnya terhirup olehku. ?Makan yang
banyak, tambah lagi tuh ayamnya.? Bagaimana mau makan banyak, kalau
?diganggu? seperti ini. Aku mengiakan saja. Rupanya ?gangguan nikmat?
belum selesai. Aku duduk menghadap ke utara. Di dekatku duduk si
Badan-sintal yang habis mandi, menghadap ke timur. Aku bebas melihat
tubuhnya dari samping kiri. Ia menundukkan kepalanya dan mengurai
rambutnya ke depan. Dengan posisi seperti ini, badan agak membungkuk ke
depan dan satu-satunya pengikat baju ada di pinggang, dengan serta merta
baju mandinya terbelah dan menampakkan pemandangan yang bukan main.
Buah dada kirinya dapat kulihat dari samping dengan jelas. Ampun..
putihnya, dan membulat. Kalau aku menggeser kepalaku agak ke kiri,
mungkin aku bisa melihat putingnya. Tapi ini sih ketahuan banget. Jangan
sampai. Betapa tersiksanya aku siang ini. Tersiksa tapi nikmat! Oh
Tuhan, janganlah aku Kau beri siksa yang begini. Aku khawatir tak
sanggup menahan diri. Rasa-rasanya tanganku ingin menelusup ke belahan
baju mandi ini lalu meremas buah putih itu? Kalau itu terjadi, bisa-bisa
aku dipulangkan, dan hilanglah kesempatanku meraih masa depan yang
lebih baik. Apa yang kubilang pada ayahku ? Dapat kupastikan ia marah
besar, dan artinya, kiamat bagiku.

Untung, atau sialnya, Tante cepat bangkit menuju ke kamar sambil
menukas: ?Teruskan ya makannya.? ?Ya Tante,? sahutku masih gemetaran.
Aah., aku menemukan sesuatu lagi. Aku mengamati Tante berjalan ke
kamarnya dari belakang, gerakan pinggulnya indah sekali. Pinggul yang
tak begitu lebar, tapi pantatnya demikian menonjol ke belakang. Tubuh
ideal, memang.

Malamnya aku disuruh makan duluan sendiri. Tante menunggu Oom yang telat
pulang malam ini. Masih terbayang kejadian siang tadi bagaimana aku
menikmati pemandangan dada Tante yang membuat aku tak begitu selera
makan. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan Tante yang muncul dari
kamarnya. Masih mengenakan baju-mandi yang tadi, rambutnya juga masih
diikat handuk. Langsung ia duduk disebelahku persis di kursi yang tadi.
Belum habis rasa kagetku, tiba-tiba pula ia pindah dan duduk di
pangkuanku! Bayangkan pembaca, bagaimana nervous-nya aku. Yang jelas
penisku langsung mengeras merasakan tindihan pantat Tante yang padat.
Disingkirkannya piringku, memegang tangan kiriku dan dituntunnya
menyelinap ke belahan baju-mandinya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan
emas ini. Kuremas dadanya dengan gemas. Hangat, padat dan lembut.

Tantepun menggoyang pantatnya, terasa enak di kelaminku. Goyangan makin
cepat, aku jadi merasa geli di ujung penisku. Rasa geli makin meningkat
dan meningkat, dan .. Aaaaah, aku merasakan nikmat yang belum pernah
kualami, dan eh, ada sesuatu terasa keluar berbarengan rasa nikmat tadi,
seperti pipis dan? aku terbangun. Sialan! Cuma mimpi rupanya. Masa
memimpikan Tante, aku jadi malu sendiri. Kejadian siang tadi begitu
membekas sampai terbawa mimpi. Eh, celanaku basah. Mana mungkin aku
ngompol. Lalu apa dong ? Cepat-cepat aku periksa. Memang aku ngompol!
Tapi tunggu dulu, kok airnya lain, lengket-lengket agak kental. Ah,
kenapa pula aku ini ? Apa yang terjadi denganku ? Besok coba aku tanya
pada Oom. Gila apa! Jangan sama Oom dong. Lalu tanya kepada Tante, tak
mungkin juga. Coba ada Mas Joko, kakak kelasku di ST dulu. Mungkin teman
sekolahku ada yang tahu, besok aku tanyakan.

***

Esoknya aku ceritakan hal itu kepada Dito teman paling dekat. Sudah
barang tentu kisahnya aku modifikasi, bukan Tante yang duduk di
pangkuanku, tapi ?seseorang yang tak kukenal?. ?Kamu baru mengalami tadi
malam ?? ?Ya, tadi malam.? ?Telat banget. Aku sudah mengalami sewaktu
kelas 2 SMP, dua tahun lalu. Itu namanya mimpi basah.? ?Mimpi basah ??
?Ya. Itu tandanya kamu mulai dewasa, sudah aqil-baliq. Lho, emangnya
kamu belum pernah dengar ?? Malu juga aku dibilang telat dan belum tahu
mimpi basah. Tapi juga ada rasa sedikit bangga, aku mulai dewasa!
?Rupanya kamu badan aja yang gede, pikiran masih anak-anak.? Ah biar
saja. Beberapa hari sebelum mimpi basah itu toh aku sudah ?menghayati?
wanita sebagai orang dewasa! ?Kamu punya pacar ?? ?Engga.? ?Atau pernah
pacaran ?? ?Engga juga.? ?Pantesan telat kalau begitu. Waktu kelas 3 SMP
aku punya pacar, teman sekelas. Enak deh, sekolah jadi semangat.?
?Kalau pacaran ngapain aja sih ?? tanyaku lugu. Memang betul aku belum
tahu tentang pacaran. Tentang wanitapun aku baru tahu beberapa hari
lalu. ?Ha.. ha.. ha.! Kampungan lu! Ya tergantung orangnya. Kalau aku
sih paling-paling ciuman, raba-raba, udah. Kalau si Ricky kelewatan,
sampai pacarnya hamil.? Ciuman, raba-raba. Aku pernah lihat orang ciuman
di filem TV, enak juga kelihatannya, belum pernah aku membayangkan.
Kalau meraba, pernah kubayangkan meremas dada Tante. ?Hamil ?? Pelajaran
baru nih. ?Ada juga yang sampai ?gitu? tapi engga hamil. Engga tahu aku
caranya gimana.? ?Gitu gimana ?? ?Kamu betul-betul engga tahu ?? Lalu
ia cerita bagaimana hubungan kelamin itu. Dengan bisik-bisik tentunya.
Aku jadi tegang. Pantaslah aku dibilang kampungan, memang betul-betul
baru tahu saat ini. Kelamin lelaki masuk ke kelamin wanita, keluar bibit
manusia, lalu hamil. Bibit! Mungkin yang keluar dari kelaminku semalam
adalah bibit manusia. Bagaimana mungkin kelaminku sebesar ini bisa masuk
ke lubang pipis wanita ? Sebesar apa lubangnya, dan di mana ? Yang
pernah aku lihat kelamin wanita itu kecil, berbentuk segitiga terbalik
dan ada belahan kecil di ujung bawahnya. Tapi yang kulihat dulu itu di
desa adalah kelamin anak-anak perempuan yang sedang mandi di pancuran.
Kelamin wanita dewasa sama sekali aku belum pernah lihat. Bagaimana
bentuknya ya ? Mungkin segitiganya lebih besar. Ah, pikiranku terlalu
jauh. Ciuman saja dulu. Aku sependapat dengan Dito, kalau pacaran ciuman
dan raba-raba saja. Aku jadi ingin pacaran, tapi siapa yang mau pacaran
sama aku yang kuper ini ? Ya dicari dong! Si Rika, Ani atau Yuli ?
Siapa sajalah, asal mau jadi pacarku, buat ciuman dan diraba-raba.
Sepertinya sedap.

Dalam perjalanan pulang aku membayangkan bagaimana seandainya aku
pacaran sama Rika. Pahanya yang lumayan mulus enak dielus-elus. Tanganku
terus ke atas membuka kancing bajunya, lalu menyelusup dan? sopir Bajaj
itu memaki-maki membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar aku berjalan terlalu
ke tengah. Di balik kutang Rika hanya ada sedikit tonjolan, tak ada
?pegangan?, kurang enak ah. Tiba-tiba Rika berubah jadi Ani. Melamun itu
memang enak, bisa kita atur semau kita. Ketika membuka kancing baju Ani
aku mulai tegang. Kususupkan empat jariku ke balik kutang Ani. Nah ini,
montok, keras walau tak begitu halus. Telapak tanganku tak cukup buat
?menampung? dada Ani. Aku berhenti, menunggu lampu penyeberangan menyala
hijau. Sampai di seberang jalan kusambung khayalanku. Ani telah berubah
menjadi Yuli.


Anak ini memang
manis, apalagi kalau tersenyum, bibirnya indah, setidaknya menurutku.
Aku mulai mendekatkan mulutku ke bibir Yuli yang kemudian membuka
mulutnya sedikit, persis seperti di film TV kemarin. Kamipun berciuman
lama. Kancing baju seragam Yulipun mulai kulepas, dua kancing dari atas
saja cukup. Kubayangkan, meski dari luar dada Yuli menonjol biasa, tak
kecil dan tak besar, ternyata dadanya besar juga. Kuremas-remas
sepuasnya sampai tiba di depan rumah.

Aku kembali ke dunia nyata. Masuk melalui pintu garasi seperti biasa,
membuka pintu tengah sampai ke ruang keluarga. Juga seperti biasa kalau
mendapati Tante sedang membaca majalah sambil rebahan di karpet, atau
menyulam, atau sekedar nonton TV di ruang keluarga. Yang tidak biasa
adalah, kedua bukit kembar itu. Tante membaca sambil tengkurap menghadap
pintu yang sedang kumasuki. Posisi punggungnya tetap tegak dengan
bertumpu pada siku tangannya. Mengenakan daster dengan potongan dada
rendah, rendah sekali. Inipun tak biasa, atau karena aku jarang
memperhatikan bagian atas. Tak ayal lagi, kedua bukit putih itu hampir
seluruhnya tampak. Belahannya jelas, sampai urat-urat lembut agak
kehijauan di kedua buah dada itu samar-samar nampak. Aku tak melewatkan
kesempatan emas ini. Tante melihat sebentar ke arahku, senyum sekejap,
terus membaca lagi. Akupun berjalan amat perlahan sambil mataku tak
lepas dari pemandangan amat indah ini?

Hampir lengkap aku ?mempelajari? tubuh Tanteku ini. Wajah dan
?komponen?nya mata, alis, hidung, pipi, bibir, semuanya indah yang
menghasilkan : cantik. Walaupun dilihat sekejap, apalagi berlama-lama.
Paha dan kaki, panjang, semuanya putih, mulus, berbulu halus. Pinggul,
meski baru lihat dari bentuknya saja, tak begitu lebar, proporsional,
dengan pantat yang menonjol bulat ke belakang. Pinggang, begitu sempit
dan perut yang rata. Ini juga hanya dari luar. Dan yang terakhir buah
dada. Hanya puting ke bawah saja yang belum aku lihat langsung. Kalau
daerah pinggul, bagian depannya saja yang aku belum bisa membayangkan.
Memang aku belum pernah membayangkan, apalagi melihat kelamin wanita
dewasa. Aku masih penasaran pada yang satu ini.

Keesokkan harinya, siang-siang, Dito memberiku sampul warna coklat agak besar, secara sembunyi-sembunyi.

"Nih, buat kamu"

"Apa nih ?"

"Simpan aja dulu, lihatnya di rumah, Hati-hati" Aku makin penasaran.
"Lanjutan pelajaranku kemarin. Gambar-gambar asyik" bisiknya.

Sampai di rumah aku berniat langsung masuk kamar untuk memeriksa benda
pemberian Dito. Tante lagi membaca di karpet, kali ini terlentang,
mengenakan daster dengan kancing di tengah membelah badannya dari atas
ke bawah. Kancingnya yang terbawah lepas sebuah yang mengakibatkan
sebagian pahanya tampak, putih. "Suguhan" yang nikmat sebenarnya, tapi
kunikmati hanya sebentar saja, pikiranku sedang tertuju ke sampul
coklat. Dengan tak sabaran kubuka sampul itu, sesudah mengunci pintu
kamar, tentunya. Wow, gambar wanita bule telanjang bulat! Sepertinya ini
lembaran tengah suatu majalah, sebab gambarnya memenuhi dua halaman
penuh. Wanita bule berrambut coklat berbaring terlentang di tempat
tidur. Segera saja aku mengeras. Buah dadanya besar bulat, putingnya
lagi-lagi menonjol ke atas warna coklat muda. Perutnya halus, dan ini
dia, kelaminnya! Sungguh beda jauh dengan apa yang selama ini kuketahui.
Aku tak menemukan "segitiga terbalik" itu. Di bawah perut itu ada
rambut-rambut halus keriting. Ke bawah lagi, lho apa ini ? Sebelah kaki
cewe itu dilipat sehingga lututnya ke atas dan sebelahnya lagi menjuntai
di pinggir ranjang memperlihatkan selangkangannya. Inilah rupanya
lubang itu. Bentuknya begitu "rumit". Ada daging berlipat di kanan
kirinya, ada tonjolan kecil di ujung atasnya, lubangnya di tengah
terbuka sedikit. Mungkin di sinilah tempat masuknya kelamin lelaki.
Tapi, mana cukup ? Oo, seperti inilah rupanya wujud kelamin wanita
dewasa. Tiba-tiba pikiran nakalku kambuh : begini jugakah punya Tante?
Pertanyaan yang jelas-jelas tak mungkin mendapatkan jawaban! Bagaimana
dengan punya Rika, Ani, atau Yuli? Sama susahnya untuk mendapatkan
jawaban. Lupakan saja. Tunggu dulu, barangkali Si Mar pembantu itu bisa
memberikan "jawaban". Orangnya penurut, paling tidak dia selalu patuh
pada perintah majikannya, termasuk aku. Bahkan dulu itu tanpa aku minta
membantuku beres-beres kamarku, dengan senang pula.


Orangnya
lincah dan ramah. Tidak terlalu jelek, tapi bersih. Kalau sudah dandan
sore hari ngobrol dengan pembantu sebelah, orang tak menyangka kalau ia
pembantu. Dulu waktu pertama kali ketemupun aku tak mengira bahwa ia
pembantu. Setiap pagi ia menyapu dan mengepel seluruh lantai, termasuk
lantai kamarku. Kadang-kadang aku sempat memperhatikan pahanya yang
tersingkap sewaktu ngepel, bersih juga. Yang jelas ia periang dan
sedikit genit. Tapi masa kusuruh ia membuka celana dalamnya "Coba Mar
aku pengin lihat punyamu, sama engga dengan yang di majalah" Gila!.
Jangan langsung begitu, pacari saja dulu. Ah, pacaran kok sama pembantu.
Apa salahnya? dari pada tidak pacaran sama sekali. Okey, tapi bagaimana
ya cara memulainya ? Ah, dasar kuper!

Aku jadi lebih memperhatikan Si Mar. Mungkin ia setahun atau dua tahun
lebih tua dariku, sekitar 18 lah. Wajahnya biasa-biasa saja, bersih dan
selalu cerah, kulit agak kuning, dadanya tak begitu besar, tapi sudah
berbentuk. Paha dan kaki bersih. Mulai hari ini aku bertekat untuk mulai
menggoda Si Mar, tapi harus hati-hati, jangan sampai ketahuan oleh
siapapun. Seperti hari-hari lainnya ia membersihkan kamarku ketika aku
sedang sarapan. Pagi ini aku sengaja menunda makan pagiku menunggu Si
Mar. Tante masih ada di kamarnya. Si Mar masuk tapi mau keluar lagi
ketika melihat aku ada di dalam kamar.

"Masuk aja mbak, engga apa-apa" kataku sambil pura-pura sibuk membenahi
buku-buku sekolah. Masuklah dia dan mulai bersih-bersih. Tanganku terus
sibuk berbenah sementara mataku melihatnya terus. Sepasang pahanya
nampak, sudah biasa sih lihat pahanya, tapi kali ini lain. Sebab aku
membayangkan apa yang ada di ujung atas paha itu. Aku mengeras. Sekilas
tampak belahan dadanya waktu ia membungkuk-bungkuk mengikuti irama
ngepel. Tiba-tiba ia melihatku, mungkin merasa aku perhatikan terus.

"Kenapa, Mas" Kaget aku.

"Ah, engga. Apa mbak engga cape tiap hari ngepel"

"Mula-mula sih capek, lama-lama biasa, memang udah kerjaannya" jawabnya cerah.

"Udah berapa lama mbak kerja di sini ?"

"Udah dari kecil saya di sini, udah 5 tahun"

"Betah ?"

"Betah dong, Ibu baik sekali, engga pernah marah. Mas dari mana sih asalnya ?"Tanyanya tiba-tiba. Kujelaskan asal-usulku.

"Oo, engga jauh dong dari desaku. Saya dari Cilacap"

Pekerjaannya selesai. Ketika hendak keluar kamar aku mengucapkan terima kasih.

"Tumben." Katanya sambil tertawa kecil. Ya, tumben biasanya aku tak bilang apa-apa.

***

"Mana, yang kemarin ?" Dito meminta gambar cewe itu.

"Lho, katanya buat aku"

"Jangan dong, itu aku koleksi. Kembaliin dulu entar aku pinjamin yang lain, lebih serem!"

"Besok deh, kubawa"

Sampai di rumah Si Luki sedang main-main di taman sama pengasuhnya.
Sebentar aku ikut bermain dengan anak Oomku itu. Tinah sedikit lebih
putih dibanding Si Mar, tapi jangan dibandingkan dengan Tante, jauh.
Orangnya pendiam, kurang menarik. Dadanya biasa saja, pinggulnya yang
besar. Tapi aku tak menolak seandainya ia mau memperlihatkan miliknya.
Pokoknya milik siapa saja deh, Rika, Ani, Yuli, Mar, atau Tinah asal itu
kelamin wanita dewasa. Penasaran aku pada "barang" yang satu itu.
Apalagi milik Tante, benar-benar suatu karunia kalau aku "berhasil"
melihatnya! Di dalam ada Si Mar yang sedang nonton telenovela buatan
Brazil itu. Aku kurang suka, walaupun pemainnya cantik-cantik. Ceritanya
berbelit. Duduk di karpet sembarangan, lagi-lagi pahanya nampak.
Rasanya si Mar ini makin menarik.

"Mau makan sekarang, Mas ?"

"Entar aja lah"

"Nanti bilang, ya. Biar saya siapin"

"Tante mana mbak?"

"Kan senam" Oh ya, ini hari Rabu, jadwal senamnya. Seminggu Tante senam
tiga kali, Senin, Rabu dan Jumat. Ketika aku selesai ganti pakaian, aku
ke ruang keluarga, maksudku mau mengamati Si Mar lebih jelas. Tapi Si
Mar cepat-cepat ke dapur menyiapkan makan siangku. Biar sajalah, toh
masih banyak kesempatan. Kenapa tidak ke dapur saja pura-pura bantu ?
Akupun ke dapur.

"Masak apa hari ini ?" Aku berbasa-basi.

"Ada ayam panggang, oseng-oseng tahu, sayur lodeh, pilih aja"

"Aku mau semua" Candaku. Dia tertawa renyah. Lumayan buat kata pembukaan.

"Sini aku bantu"

"Ah, engga usah" Tapi ia tak melarang ketika aku membantunya. Ih,
pantatnya menonjol ke belakang walau pinggulnya tak besar. Aku ngaceng.
Kudekati dia. Ingin rasanya meremas pantat itu. Beberapa kali kusengaja
menyentuh badannya, seolah-olah tak sengaja. 'Kan lagi membantu dia.
Dapat juga kesempatan tanganku menyentuh pantatnya, kayaknya sih padat,
aku tak yakin, cuma nyenggol sih. Mar tak berreaksi. Akhirnya aku tak
tahan, kuremas pantatnya. Kaget ia menolehku.

"Iih, Mas To genit, ah" katanya, tapi tidak memprotes.

"Habis, badanmu bagus sih". Sekarang aku yakin, pantatnya memang padat.

"Ah, biasa saja kok"

Akupun berlanjut, kutempelkan badan depanku ke pantatnya. Barangku yang
sudah mengeras terasa menghimpit pantatnya yang padat, walaupun
terlapisi sekian lembar kain. Aku yakin iapun merasakan kerasnya
punyaku. Berlanjut lagi, kedua tanganku kedepan ingin memeluk perutnya.
Tapi ditepisnya tanganku.

"Ih, nakal. Udah ah, makan dulu sana!"

"Iya deh makan dulu, habis makan terus gimana ?"

"Yeee!" sahutnya mencibir tapi tak marah. Tangannya berberes lagi
setelah tadi berhenti sejenak kuganggu. Walaupun penasaran karena aksiku
terpotong, tapi aku mendapat sinyal bahwa Si Mar tak menolak kuganggu.
Hanya tingkat mau-nya sampai seberapa jauh, harus kubuktikan dengan
aksi-aksi selanjutnya!

Kembali aku menunda sarapanku untuk "aksi selanjutnya" yang telah
kukhayalkan tadi malam. Ketika ia sedang menyapu di kamarku, kupeluk ia
dari belakang. Sapunya jatuh, sejenak ia tak berreaksi. Amboi ..dadanya
berisi juga! Jelas aku merasakannya di tanganku, bulat-bulat padat.
Kemudian Si Marpun meronta.

"Ah, Mas, jangan!" protesnya pelan sambil melirik ke pintu. Aku
melepaskannya, khawatir kalau ia berteriak. Sabar dulu, masih banyak
kesempatan.

"Terima kasih" kataku waktu ia melangkah keluar kamar. Ia hanya mencibir
memoncongkan mulutnya lucu. Mukanya tetap cerah, tak marah. Sekarang
aku selangkah lebih maju!

***

Aku ingat janjiku hari ini untuk mengembalikan foto porno milik Dito.
Tapi di mana foto itu ? Jangan-jangan ada yang mengambilnya. Aku yakin
betul kemarin aku selipkan di antara buku Fisika dan Stereometri (kedua
buku itu memang lebar, bisa menutupi). Nah ini dia ada di dalam buku
Gambar. Pasti ada seseorang yang memindahkannya. Logikanya, sebelum
orang itu memindahkan, tentu ia sempat melihatnya. Tiba-tiba aku cemas.
Siapa ya ? Si Mar, Tinah, atau Tante ? Atau lebih buruk lagi, Oom Ton ?
Aku jadi memikirkannya. Siapapun orang rumah yang melihat foto itu,
membuatku malu sekali! Yang penting, aku harus kembalikan ke Dito
sekarang.

Siangnya pulang sekolah ketika aku masuk ke ruang keluarga, Si Mar
sedang memijit punggung Tante. Tante tengkurap di karpet, Si Mar menaiki
pantat Tante. Punggung Tante itu terbuka 100 %, tak ada tali kutang di
sana. Putihnya mak..! Si Mar cepat-cepat menutup punggung itu ketika
tahu mataku menjelajah ke sana, sambil melihatku dengan senyum penuh
arti. Sialan! Si Mar tahu persis kenakalanku. Aku masuk kamar. Hilang
kesempatan menikmati punggung putih itu. Tadi pagi aku lupa membawa buku
Gambar gara-gara mengurus foto si Dito. Aku berniat mempersiapkan dari
sekarang sambil berusaha melupakan punggung putih itu. Sesuatu jatuh
bertebaran ke lantai ketika aku mengambil buku Gambar. Seketika dadaku
berdebar kencang setelah tahu apa yang jatuh tadi. Lepasan dari majalah
asing. Di tiap pojok bawahnya tertulis "Hustler" edisi tahun lalu. Satu
serial foto sepasang bule yang sedang berhubungan kelamin! Ada tiga
gambar, gambar pertama Si Cewe terlentang di ranjang membuka kakinya
sementara Si Cowo berdiri di atas lututnya memegang alatnya yang tegang
besar (mirip punyaku kalau lagi tegang cuma beda warna, punyaku gelap)
menempelkan kepala penisnya ke kelamin Cewenya. Menurutku, dia
menempelnya kok agak ke bawah, di bawah "segitiga terbalik" yang penuh
ditumbuhi rambut halus pirang.

Gambar kedua, posisi Si Cewe masih sama hanya kedua tangannya memegang
bahu si Cowo yang kini condong ke depan. Nampak jelas separoh batangnya
kini terbenam di selangkangan Si Cewe. Lho, kok di situ masuknya ?
Kuperhatikan lebih saksama. Kayaknya dia "masuk" dengan benar, karena di
samping jalan masuk tadi ada "yang berlipat-lipat", persis gambar milik
Dito kemarin. Menurut bayanganku selama ini, "seharusnya" masuknya
penis agak lebih ke atas. Baru tahu aku, khayalanku selama ini ternyata
salah! Gambar ketiga, kedua kaki Si Cewe diangkat mengikat punggung Si
Cowo. Badan mereka lengket berimpit dan tentu saja alat Si Cowo sudah
seluruhnya tenggelam di "tempat yang layak" kecuali sepasang "telornya"
saja menunggu di luar. Mulut lelaki itu menggigit leher wanitanya,
sementara telapak tangannya menekan buah dada, ibujari dan telunjuk
menjepit putting susunya. Gemetaran aku mengamati gambar-gambar ini
bergantian. Tanpa sadar aku membuka resleting celanaku mengeluarkan
milikku yang dari tadi telah tegang. Kubayangkan punyaku ini separoh
tenggelam di tempat si Mar persis gambar kedua. Kenyataanya memang
sekarang sudah separoh terbenam, tapi di dalam tangan kiriku. Akupun
meniru gambar ketiga, tenggelam seluruhnya, gambar kedua, setengah,
ketiga, seluruhnya..geli-geli nikmat… terus kugosok… makin geli.. gosok
lagi.. semakin geli… dan.. aku terbang di awan.. aku melepas sesuatu…
hah.. cairan itu menyebar ke sprei bahkan sampai bantal, putih, kental,
lengket-lengket. Enak, sedap seperti waktu mimpi basah. Sadar aku
sekarang ada di kasur lagi, beberapa detik yang lalu aku masih
melayang-layang.


He! Kenapa aku ini?
Apa yang kulakukan ? Aku panik. Berbenah. Lap sini lap sana. Kacau!
Kurapikan lagi celanaku, sementara si Dia masih tegang dan berdenyut,
masih ada yang menetes. Aku menyesal, ada rasa bersalah, rasa berdosa
atas apa yang baru saja kulakukan. Aku tercenung. Gambar-gambar sialan
itu yang menyebabkan aku begini. Masturbasi. Istilah aneh itu baru aku
ketahui dari temanku beberapa hari sesudahnya. Si Dito menyebutnya
'ngeloco'. Aneh. Ada sesuatu yang lain kurasakan, keteganganku lenyap.
Pikiran jadi cerah meski badan agak lemas..

***

Sehari itu aku jadi tak bersemangat, ingat perbuatanku siang tadi.
Rasanya aku telah berbuat dosa. Aku menyalahkan diriku sendiri. Bukan
salahku seluruhnya, aku coba membela diri. Gambar-gambar itu juga punya
dosa. Tepatnya, pemilik gambar itu. Eh, siapa yang punya ya ? Tahu-tahu
ada di balik buku-bukuku. Siapa yang menaruh di situ ? Ah, peduli amat.
Akan kumusnahkan. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi, tidak akan
masturbasi lagi. Perasaan seperti ini masih terbawa sampai keesokkan
harinya lagi. Sehingga kulewatkan kesempatan untuk meraba dada Mar
seperti kemarin. Ia telah memberi lampu hijau untuk aku "tindaklanjuti".
Tapi aku lagi tak bersemangat. Masih ada rasa bersalah.

Hari berikutnya aku "harus" tegang lagi. Bukan karena Si Mar yang
(menurutku) bersedia dijamah tubuhnya. Tapi lagi-lagi karena Si Putih
molek itu, Tante Yani. Siang itu aku pulang agak awal, pelajaran
terakhir bebas. Sebentar aku melayani Luki melempar-lempar bola di
halaman, lalu masuk lewat garasi, seperti biasa. Hampir pingsan aku
ketika membuka pintu menuju ruang keluarga. Tante berbaring terlentang,
mukanya tertutupi majalah "Femina", terdengar dengkur sangat halus dan
teratur. Rupanya ketiduran sehabis membaca. Mengenakan baju-mandi
seperti dulu tapi ini warna pink muda, rambut masih terbebat handuk.
Agaknya habis keramas, membaca terus ketiduran. Model baju mandinya
seperti yang warna putih itu, belah di depan dan hanya satu pengikat di
pinggang. Jelas ia tak memakai kutang, kelihatan dari bentuk buah
dadanya yang menjulang dan bulat, serta belahan dadanya seluruhnya
terlihat sampai ke bulatan bawah buah itu. Sepasang buah bulat itu
naik-turun mengikuti irama dengkurannya. Berikut inilah yang membuatku
hampir pingsan. Kaki kirinya tertekuk, lututnya ke atas, sehingga
belahan bawah baju-mandi itu terbuang ke samping, memberiku "pelajaran"
baru tentang tubuh wanita, khususnya milik Tante. Tak ada celana dalam
di sana.

Tanteku ternyata punya bulu lebat. Tumbuh menyelimuti hampir seluruh
"segitiga terbalik". Berwarna hitam legam, halus dan mengkilat, tebal di
tengah menipis di pinggir-pinggirnya. "Arah" tumbuhnya seolah diatur,
dari tengah ke arah pinggir sedikit ke bawah kanan dan kiri.

Berbeda dengan yang di gambar, rambut Tante yang di sini lurus, tak
keriting. Wow, sungguh "karya seni" yang indah sekali! Kelaminku tegang
luar biasa. Aku lihat sekeliling. Si Tinah sedang bermain dengan anak
asuhnya di halaman depan. Si Mar di belakang, mungkin sedang menyetrika.
Kalau Tante sedang di ruang ini, biasanya Si Mar tidak kesini, kecuali
kalau diminta Tante memijit. Aman!

Dengan wajah tertutup majalah aku jadi bebas meneliti kewanitaan Tante,
kecuali kalau ia tiba-tiba terbangun. Tapi aku 'kan waspada. Hampir tak
bersuara kudekati milik Tante. Kini giliran bagian bawah rambut indah
itu yang kecermati. Ada "daging berlipat", ada benjolan kecil warna
pink, tampaknya lebih menonjol dibanding milik bule itu. Dan di bawah
benjolan itu ada "pintu". Pintu itu demikian kecil, cukupkah punyaku
masuk ke dalamnya ? Punyaku ? Enak saja! Memangnya lubang itu milikmu ?
Bisa saja sekarang aku melepas celanaku, mengarahkan ujungnya ke situ,
persis gambar pertama, mendorong, seperti gambar kedua, dan …Tiba-tiba
Tante menggerakkan tangannya. Terbang semangatku. Kalau ada cermin di
situ pasti aku bisa melihat wajahku yang pucat pasi. Dengkuran halus
terdengar kembali. Untung., nyenyak benar tidurnya. Bagian atas
baju-mandinya menjadi lebih terbuka karena gerakan tangannya tadi. Meski
perasaanku tak karuan, tegang, berdebar, nafas sesak, tapi pikiranku
masih waras untuk tidak membuka resleting celanaku. Bisa berantakan masa
depanku. Aku "mencatat" beberapa perbedaan antara milik Tante dengan
milik bule yang di majalah itu. Rambut, milik Tante hitam lurus, milik
bule coklat keriting. Benjolan kecil, milik Tante lebih "panjang", warna
sama-sama pink. Pintu, milik Tante lebih kecil. Lengkaplah sudah aku
mempelajari tubuh wanita. Utuhlah sudah aku mengamati seluruh tubuh
Tante. Seluruhnya ? Ternyata tidak, yang belum pernah aku lihat sama
sekali : puting susunya. Kenapa tidak sekarang ? Kesempatan terbuka di
depan mata, lho! Mataku beralih ke atas, ke bukit yang bergerak
naik-turun teratur. Dada kanannya makin lebar terbuka, ada garis tipis
warna coklat muda di ujung kain. Itu adalah lingkaran kecil di tengah
buah, hanya pinggirnya saja yang tampak. Aku merendahkan kepalaku
mengintip, tetap saja putingnya tak kelihatan. Ya, hanya dengan sedikit
menggeser tepi baju mandi itu ke samping, lengkaplah sudah "kurikulum"
pelajaran anatomi tubuh Tante. Dengan amat sangat hati-hati tanganku
menjangkau tepi kain itu. Mendadak aku ragu. Kalau Tante terbangun
bagaimana ? Kuurungkan niatku.


Tapi
pelajaran tak selesai dong! Ayo, jangan bimbang, toh dia sedang tidur
nyenyak. Ya, dengkurannya yang teratur menandakan ia tidur nyenyak.
Kembali kuangkat tanganku. Kuusahakan jangan sampai kulitnya tersentuh.
Kuangkat pelan tepi kain itu, dan sedikit demi sedikit kugeser ke
samping. Macet, ada yang nyangkut rupanya. Angkat sedikit lagi, geser
lagi. Kutunggu reaksinya. Masih mendengkur. Aman. Terbukalah sudah..
Puting itu berwarna merah jambu bersih. Berdiri tegak menjulang, bak
mercusuar mini. Amboi . indahnya buah dada ini. Tak tahan aku ingin
meremasnya. Jangan, bahaya. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Bukan
saja khawatir Tante terbangun, tapi takut aku tak mampu menahan diri,
menubruk tubuh indah tergolek hampir telanjang bulat ini.

***

Aku jadi tak tenang. Berulang kali terbayang rambut-rambut halus kelamin
dan puting merah jambu milik Tante itu. Apalagi menjelang tidur. Tanpa
sadar aku mengusap-usap milikku yang tegang terus ini. Tapi aku segera
ingat janjiku untuk tidak masturbasi lagi. Mendingan praktek langsung.
Tapi dengan siapa ?

Hari ini aku pulang cepat. Masih ada dua mata pelajaran sebetulnya, aku
membolos, sekali-kali. Toh banyak juga kawanku yang begitu. Percuma di
kelas aku tak bisa berkonsentrasi. Di garasi aku ketemu Tante yang
siap-siap mau pergi senam. Dibalut baju senam yang ketat ini Tante jadi
istimewa. Tubuhnya memang luar biasa. Dadanya membusung tegak ke depan,
bagian pinggang menyempit ramping, ke bawah lagi melebar dengan pantat
menonjol bulat ke belakang, ke bawah menyempit lagi. Sepasang paha yang
nyaris bulat seperti batang pohon pinang, sepasang kaki yang panjang
ramping. Walaupun tertutup rapat aku ngaceng juga. Lagi-lagi aku
terrangsang. Diam-diam aku bangga, sebab di balik pakaian senam itu aku
pernah melihatnya, hampir seluruhnya! Justru bagian tubuh yang
penting-penting sudah seluruhnya kulihat tanpa ia tahu! Salah sendiri,
teledor sih. Ah, salahku juga, buktinya kemarin aku menyingkap
putingnya.

"Lho, kok udah pulang, To" sapanya ramah. Ah bibir itu juga menggoda.

"Iya Tante, ada pelajaran bebas" jawabku berbohong. Kubukakan pintu
mobilnya. Sekilas terlihat belahan dadanya ketika ia memasuki mobil.
Uih, dadanya serasa mau "meledak" karena ketatnya baju itu.

"Terima kasih" katanya. "Tante pergi dulu ya". Mobilnya hilang dari pandanganku.