Kamis, 28 Juni 2012

Dapat Ratusan Artefak, Bernilai Ratusan Juta per Ornamen









Sebagian dari harta karun yang berhasil di selamatkan tim








Di balik ganasnya perairan Samudera Hindia, siapa sangka, di dasar laut Kepulauan Mentawai tersimpan harta karun bernilai tinggi. Sebagai basis pelayaran kapal-kapal pedagang Eropa dan VOC 200-an tahun silam, perairan pulau terluar Sumatera Barat ini, diyakini menyimpan puluhan bangkai kapal kuno lainnya.


    


RASA takut, lelah dan te­gang seolah sirna begitu Tim Eks­­pedisi Harta Karun mene­mu­­kan benda-benda antik dan ku­no di sela-sela bangkai ka­pal. Silih berganti para penye­lam muncul ke permukaan mem­bawa benda-benda arte­fak.





Ada yang membawa guci, pi­ring, patung Budha, dan ben­da-benda kuno lainnya. De­ngan sigap, Koordinator Pe­lak­sana Teknis Dinas Balai Be­nih Ikan Pantai (UPTD BBIP) Si­ka­kap, yang juga ketua tim eks­pe­disi, Hardimansyah alias Mak Itam, menyambut benda-benda antik itu.





Setelah itu, mereka kem­bali menyelam sembari me­nga­cungkan jempol tanda oke. Be­­gitu seterusnya, tanpa kenal le­lah. Mereka bergairah karena me­yakini di dalam dek kapal tua itu, masih banyak tersim­pan benda-benda artefak abad 16. Untung, cuaca ketika itu ber­­sahabat.





Sejak melakukan penye­laman setahun lalu, tim eks­pe­disi ini berhasil me­ngum­pul­kan seratusan benda-benda kuno dalam berbagai orna­men. ”Kalau guci ini, setelah saya survei di internet, tanya ke teman-teman, dan dilihat di se­jumlah museum, harganya bisa sampai Rp 200 juta,” jelas Mak Itam sembari menunjuk gu­ci yang baru saja didapati se­orang anggota tim penyel­amnya. 





Bagi Mak Itam, meng­ung­kap misteri dari kapal tua itu sa­ngat melelahkan. Di samping ti­dak ada respons pemerintah pu­sat, anggaran dana pun harus di­ke­­luarkan dari saku masing-ma­sing. Sementara untuk me­me­cah­kan sejarah misteri kapal kuno itu, membutuhkan waktu lama dan anggaran besar serta tek­nologi modern.





“Meskipun ada dana, punya alat teknologi, tetap saja kita ti­dak bisa mengungkap misteri ka­pal tua ini. Sebab, kita sendiri ti­dak memiliki ilmu arkeolog un­tuk membaca temuan-te­muan itu,” tutur Mak Itam yang sudah mulai menggigil kedinginan.





Walau kesulitan menda­pat­kan dana, hingga kini tim pe­nye­lam dari BBIP Sikakap komit ti­dak melego satu pun benda-ben­da bersejarah itu. Semuanya ma­sih tersimpan di kantornya, di Si­kakap. Kalau mereka mau, ti­dak­lah sulit untuk menjual ben­da artefak bernilai jual ratu­san juta, bah­kan miliaran rupiah itu, kepa­da para kolektor barang antik.





“Saya bukannya tidak punya ke­nalan pengusaha atau orang ka­y­a yang hobi mengoleksi ben­da antik. Tapi memang tidak ada niat menjual benda-benda itu. Bayangkan saja, kalau satu guci dijual sama orang Eropa se­perti Belanda, mungkin harga­nya bisa bernilai ratusan juta rupiah,” be­ber Mak Itam yang sudah enam tahun di BBIP.





Agar tidak ada tangan jahil yang mendekati kapal kuno itu, sam­pai sekarang Tim BBIP ma­sih merahasiakan koordinat tem­­pat tenggelamnya kapal yang ditengarai punya kaitan sejarah pada masa silam itu. “Kita masih rahasiakan titik ko­ordinatnya supaya tidak ada orang lain yang datang dan me­nguras harta karun di sini untuk ke­pentingan pribadi dan kelom­pok,” ungkap Mak Itam dengan raut wajah serius.





Awalnya, Mak Itam tidak me­nampik motivasinya mela­ku­kan ekspedisi demi menda­pat­kan keuntungan besar. “Hing­ga suatu hari, tiba-tiba niat itu beru­bah. Kami sepakat ekspe­disi ini mur­ni untuk melindungi benda-ben­da bersejarah, sekaligus ben­tuk protes kami kepada peme­rin­tah yang masa bodoh,” ucap Mak Itam.





Masih di atas speedboat, sam­bil menanti penyelam lain naik ke permukaan, Mak Itam men­ceritakan, pihaknya tengah me­nelusuri kaitan sejarah de­ngan benda-benda yang dite­mukan di kapal kuno tersebut. Sa­lah satunya stempel yang ber­tuliskan tahun 1736. Ada ke­mungkinan, kapal tersebut milik seorang pedagang kaya dari China.





Ini dikuatkan beberapa te­muan berupa guci unik. “Biasa­nya orang China itu kan identik hia­san rumahnya dengan guci. Saya yakin kapal tua ini milik pe­dagang kaya raya milik orang China,” tuturnya.





Namun, Mak Itam kemu­dian men­jadi bingung, karena ber­dasarkan petunjuk dalam stem­pel itu, di bagian atasnya tertulis “Adam:N:EFA:IN:PARADIS”, se­dang­kan pada bagian bawah bertuliskan “INFANKA BCAS”. Ke­mudian di tengah stempel ada lam­bang kerajaan dengan be­berapa gambar bintang dan ada pula tertulis nama Abraham.





“Lalu saya coba cari di inte­r­net dan muncul penjelasan bah­wa Abraham itu seorang misio­na­ris asal Belanda. Sejak kebe­rang­katannya, Abraham tidak per­n­ah kembali dan diyakini su­dah meninggal,” ujar pria kela­hiran Pariaman 44 tahun lalu itu.





Tim ekspedisi pun semakin bi­ngung dengan hipotesisnya ka­rena di bangkai kapal itu, ada na­ma orang Belanda dalam pe­layaran tersebut. Kebi­ngungan dan rasa pena­saran mem­bun­cah, karena antara satu benda de­ngan benda lainnya, tidak ber­jalin berkelindan. Te­muan baru tidak menjawab temuan sebe­lumnya.





“Kalau kapal tua itu teng­ge­lam sesuai pada stempel tahun 1736, berarti usianya sudah 276 ta­hun. Nah, kemungkinan besar ka­pal ini tenggelam akibat ge­lom­bang tsunami ratusan tahun silam. Sebab, beberapa in­for­masi yang pernah saya de­ngar, Sum­bar pernah dilanda tsunami dah­syat sekitar dua ratus tahun lalu. Ma­kanya, para pakar seka­rang me­ngatakan, siklus gempa di Men­­tawai sudah dekat, mes­ki­pun sudah terjadi. Entah­lah, yang je­las saya harus bisa me­me­cah mi­s­teri kapal tua ini, seka­ligus un­tuk sejarah bangsa ini,” jelasnya.





Hampir dua jam, para pe­nye­lam satu per satu naik lagi ke atas per­mukaan laut. Ada yang mem­bawa karung kosong dan je­riken be­risi berbagai benda yang di­ambil dari kapal teng­gelam.





Kondisi cuaca badai yang ti­dak memungkinkan melanjut­kan pe­nyelaman, memaksa tim ber­­gerak tepi pantai. Tidak lang­sung pu­lang, tapi menginap di se­buah pu­lau tak berpenghuni di se­ki­tar lo­kasi kapal penemuan harta ka­run.





“Pasang tenda! Kita harus ti­dur semalam di sini. Tidak mung­kin kita pulang jalan ma­lam, sangat rawan dan risi­konya mati,” perintah Mak Itam. Sete­lah mengambil semua cadangan lo­gistik di speedboat, kami pun ma­kan siang meski hari sudah merangkak petang.





Tepian pantai yang ‘mati’ ka­rena ditinggal penghuninya aki­bat diterjang tsunami Ok­tober 2010, tampak meny­e­ramkan. Sua­sana malam yang dingin di­ting­kahi deburan ombak pan­tai dan suara binatang, menjadi har­moni pengantar tidur yang in­dah. Kami pun terlelap, hingga tak terasa fajar pagi menyapa.





Tanpa minum dan sarapan, tim ekspedisi melanjutkan perja­lanan pulang. Pagi itu, cuaca cerah. Ayunan gelombang laut pun bersahabat, mengiringi per­jalanan pulang kami dalam wak­tu singkat, dua setengah jam. Dalam perjalanan pulang, sam­bil menyeruput kopi hangat, tim me­ngamati sisa-sisa kerusakan di tepian pantai akibat tsunami.





“Semua temuan di kapal tadi, tidak ada petunjuk baru. Tidak ada angka atau tulisan yang bisa memberikan analisa. Barangkali bisa dikaji dari jenis ben­danya saja oleh arkeolog. Saya sangat berharap bisa mene­mukan bundelan naskah, apa pun tulisannya. Tapi itu tidak mung­kin. Kalau naskahnya ter­buat dari kertas, tentunya sudah hancur dengan usia yang sudah ratusan tahun,” ujar Mak Itam yang kembali membuka pem­bi­ca­raan dalam perjalanan pula­ng.





Penelusuran Padang Eks­pres di internet, tahun 1736-1740, penduduk Barus, khusus­nya Sorkam dan Korlang, di Ta­nah Batak, mengusir VOC, pe­rusa­haan Belanda di India Ti­mur yang banyak meresahkan (mo­nopoli) per­ekonomian se­tem­pat. Pen­duduk dipimpin Raja Simo­rang dari Tapanuli dan Raja Bukit. Dalam catatan sejarah itu, ratu­san kapal bangsa kolonial me­ning­galkan tanah Batak.





Jika memang perjalanan me­reka melintasi pantai barat Su­matera, boleh jadi bukan ha­nya satu kapal yang teng­ge­lam. Melainkan, ada ratusan ka­pal dengan segudang harta ka­run lainnya di dasar laut Mentawai.





***





Sejarawan dari Universitas Andalas Padang, Gusti Asnan mengatakan, pada pertengahan abad 16, pantai barat Sumatera menjadi jalur pelayaran kapal-kapal negara Eropa. Umumnya, kapal-kapal itu dari kalangan pedagang. Tak heran, banyak ditemukan benda-benda niaga perdagangan seperti guci, piring dan lainnya, di bangkai kapal kuno di dasar laut Mentawai itu.





“Pantai barat Sumatera me­ru­pakan basis pelayaran, bahkan berlabuhnya kapal dari VOC. Kuat dugaan saya, kapal kuno itu mutlak milik pedagang negara Ero­pa dan VOC. Dan saya yakini, bu­­kan hanya satu kapal teng­ge­lam, tapi puluhan bangkai ka­pal lainnya masih ada di dasar laut Pantai Barat Sumatera,” je­lasnya kepada Padang Eks­pres.





Gusti Asnan sangat prihatin atas penemuan benda yang me­miliki sejarah besar itu ter­nyata be­lum mendapat res­pons peme­rintah pusat. Hasil temuan ini jika diangkat dan dianalisa, bisa memberikan sumbangan ilmu, terutama untuk melihat lebih jauh sejarah bangsa dunia.





“Nanti kalau sudah dijual dan dibeli dengan negara lain, baru semuanya kebakaran jenggot. Biasanya seperti itu gaya dan la­gunya orang Indonesia terha­dap ben­da bersejarah dan kebu­da­yaan,” sindir Gusti Asnan.





Gusti Asnan mencontohkan, selama ini bangsa Indonesia menganggap sepele warisan bu­da­yanya, seperti batik, tari pen­det Bali, reok ponorogo, dan ren­dang padang. “Setelah nega­ra lain mengklaim itu milik­nya, In­donesia seperti baru tersadar dan langsung protes,” kritiknya lagi.





Menurutnya, lebih baik se­mua temuan benda artefak dari bang­kai kapal tersebut tidak usah dikeluarkan atau disentuh, se­belum para ahli atau ilmuwan turun ke lokasi. Sebab, jika salah me­ngambil, nilainya bisa ber­kurang. Bahkan, tidak be­r­harga layaknya benda ber­karat di zaman modern saat ini.





“Lebih baik dibiarkan saja di ba­wah laut. Sebab, kalau di ba­wah laut tetap terjaga sampai ra­tusan tahun. Semua itu tentu sa­ngat membutuhkan pera­watan benda kuno berda­sarkan ilmu yang ada,” harapnya.





***





Dalam perjalanan pulang, kami lebih banyak diam. Larut dalam pikiran masing-masing. Memandang hamparan laut biru Samudera Hindia, sekaligus membayangkan hilir mudik kapal-kapal layar para pedagang Eropa dan VOC melintasi per­airan Kepulauan Mentawai.





Pulau terluar Sumbar yang selama ini terpingirkan, ternyata kaya dengan seribu satu misteri sejarah yang tak terpecahkan. Wajar saja Mentawai begitu seksi bagi orang-orang Barat. Mirisnya, di negeri sendiri justru terabaikan. Kapal-kapal pesiar asing bebas hilir mudik melintasi perairan Mentawai, surganya parasurfer dunia.





“Jangan-jangan, selain mem­buru ombak tinggi Men­tawai, para peselancar dunia me­nyim­pan agenda terselubung mem­buru harta karun di dasar laut Mentawai,” ujar saya dalam hati.





Ironi memang, negeri bahari nan kaya raya ini, ternyata para pe­nguasanya tidak menghargai ben­da-benda sejarah. Pert­a­nyaan demi pertanyaan terus ber­gelayutan di benak kami ma­sing-masing, memecahkan mis­­teri kapal kuno selama perja­lanan pulang… (***)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar